Maskumambang



Tinggal sederet kenangan menggigit, meski terasa baru kemarin, seperti sebuah gending akhirnya mencapai suwuk, suatu babak kehidupan akhirnya juga harus dipungkasi. Ning telah melepaskan masa bocahnya, dengan berdebar. Itulah hari-hari yang paling panjang yang paling indah dalam hidupnya. Masa bocah, masa yang paling tidak mengenal curiga yang paling tidak mengenal setitik pun tahi cemburu.

Lautan rumput segar, berpucuk bunga-bunga putih membuih-gelombang, tergelar menawan, adalah milik bersama. Ara-ara, tempat yang begitu damai memberikan aroma ketulusan serba hijau penuh tembang laras. Di sanalah, Ning melepas tawa bersama-sama teman-teman kecilnya. Ada Mardi yang mengunyah pangkal batang bunga rumput; ada Seno yang terkantuk-kantuk di punggung kerbau dengan selembar koran robek; ada Wage dan Yati yang berlarian menjebak capung yang melayang di atas bandotan2) dengan jerat lidi-melengkung-bersawang. Mereka terbahak, bergelut, menangis, dan akhirnya terbahak kembali serta berbagi penganan di tengah angin yang baru saja menelusupi daun-daun tembakau. Mereka seperti alap-alap, ya, dalam daur kegembiraan, yang bagai tiada pernah terputus.

Sorenya, anak-anak perempuan mengguyur kepenatan di bawah kesegaran sejuk pancuran bambu. Anak-anak laki-laki lebih suka membendung sungai, untuk berenang sambil saling menyipratkan air. Anak-anak laki-laki itu bertelanjang dada, tubuh basah mereka berkilau indah tersentuh bias cahaya matahari yang hampir tenggelam di balik gunung.

Namun, sesampainya di rumah, Ning sudah dinanti Bapaknya dengan sebatang penjalin. Disebat! Disebat! Disebatkan sehingga betis kecil itu berbilur-bilur merah. Kepedihan pun merayap naik, mengguncangkan dadanya yang kerempeng. Bibirnya gemetar terisak, ia tidak bisa menjerit. Air mata Ning berlelehan menggenangi pipi. Bapak baru berhenti bila Simbok datang meredakan dengan suara bergetar. Ning mencari perlindungan dengan mencengkeram jarit Simboknya. Simbok akan menuntunnya, mencopoti bajunya yang basah-lembab.

“Jangan dolaaan terus! Bantu Mbokmu di rumah,” larangan dan sekaligus perintah Bapak. Ning adalah anak sulung. Adiknya dua, kecil-kecil. Yang satu sudah mulai suka usil. “Ning kasihan ‘kan kalau Simbok repot? Jaga adik, ya? Ning anak manis!” permintaan Simbok selalu. Ning tak sanggup menolak. Ning sangat sayang Simbok, yang selalu baik.

“Sana, boleh main,” kata Simbok kalau Sri sudah lelap. “Tapi jangan lama-lama. Kalau sore cepat pulang, tidak usah mandi di kali.”

Kalau mbok sudah tersenyum dan mengangguk, segera Ning melesat. Ke ara-ara!

Di ara-ara, ia menjadi pengantin kecil. Alisnya dihitamkan dengan serbuk arang oleh Yati. Rambutnya yang sepinggang digelung, dihiasi macam-macam bunga, diberi cunduk-mentul segala. Diringi musik kaleng dan nyanyian riuh-rendah, pengantin putri dipertemukan dengan pengantin putra, Mardi, di atas batu besar yang ceper. Mardi tersenyum-senyum. Ning berpipi merah malu.

Eee, ngantene teka
Eee, gelarna klasa…. 3)

Namun, ketika adik ketiganya lahir, Ning mengerti, ia harus lebih banyak membantu Simboknya. Mencuci piring, menyapu, momong adik dan sedikit-sedikit belajar memasak menyita hari-harinya. Tidak ada kemanjaan, tidak ada kecanggungan, tapi ada kemesraan sayang. Karena itulah yang harus dijalani. Ning bahagia, karena tahu, sesungguhnya sangat sayanglah Simbok dan Bapak kepadanya.

Bila kentungan magrib telah dipukul, pintu rumah dikunci, dan Ning harus membuka-buka buku pelajaran. Ini juga sebuah bekti, pengabdian. Ning menyaksikan sendiri, betapa berkeringat Bapak dan Simbok bekerja; untuk menyuapi enam mulut, untuk membiayai sekolahnya.

Suasana yang hangat, yang mesra, itulah pemberi kebahagiaan.

Pernah suatu ketika, ia sakit. Simbok sebenarnya hanya bisa menyediakan sayur sawi dan sambal terasi. Tapi ia telah diberi telur ceplok setengah matang. Warno menungguinya, duduk di pinggiran dipan bambu.

“Nih, habiskan,” katanya setelah memakan telur itu separuh.

Warno menggeleng. “Kata Simbok, untuk Mbak saja. Biar cepat sembuh.”

Mata Ning panas. Hatinya seperti diremas-remas. Mata Warno yang besar dan hitam seperti sebuah lubang yang amat dalam, amat jauh. Sayu, Ning menggulirkan matanya, menatapi lamtoro yang berayun-ayun di luar jendela.

Lebih nelangsa lagi ketika ia harus putus sekolah. Ketika teman-teman lain melangkah gagah serba bangga melanjutkan ke sekolah pilihan, cita-citanya untuk menjadi guru harus pupus. “Bukannya Bapak dan Simbok tidak kepengin menyekolahkan kamu tinggi-tinggi. Bukan. Tapi ragat, biaya, Nduk. Kau tahu, adik-adikmu lebih membutuhkannya.”

Ning merasa seperti seorang bocah yang cemburu melihat teman-temannya mengulum permen, sedangkan dirinya disodori tablet, dan terpaksa menelannya. Pahit. Tapi, ia mencoba tidak menangis.

Kadang ia bertanya. Mengapa keringat yang berleleran saban hari, mengolah sawah-ladang yang memang cuma beberapa petak, belum bisa untuk membuat mereka berkecukupan. Mengapa doa-doa itu belum juga memperoleh jawaban. Tapi, Simbok menekankan kepadanya untuk belajar sumarah, belajar mengolah kepahitan jurang-trebis kehidupan menjadi penawar keletihan.

Ia mencoba memahami babak baru lakon kehidupannya, dan menjalaninya; sejak batara surya menghangatkan permukaan tanah, membusur tinggi ke pusat langit, sampai menggelincir ke balik Sindoro yang menyimpan sasmita. Inilah ruangnya, sekarang. Kerja perempuan desa: dapur, pasar, pancuran, ladang, dan akan segera begitu dekat dengan lelaki, mengandung dan anak… ah! Bukan kerja berat sebenarnya, namun seperti ada yang rontok-gugur melayang sebelum benar-benar garing. Ngilu. Sungguh canggung kemudaannya yang mentah disentakkan ke tengah kalangan wanita dewasa yang gemar petan4), sambil ngrasani5) orang lain tanpa menyadari bahwa permainannya itu tak lebih baik ketimbang jamuran bocah di ara-ara.

Ara-ara. Ya, Ning lebih suka ke sana. Ara-ara tetaplah tempat kanak-kanak berlarian dengan tawa yang menyentuh lubuk hati. Betapa mekar hatinya ketika mereka bersorak menyambut kalung jagung jali buatannya. Atau melihat mereka melayang membawa kitiran bunga dadap melintasi pematang di sela lautan hijau padi muda. Siapa pun akan kangen pada kehangatan semacam itu.

Sekarang, ia jarang berjumpa dengan kanca-kanca akrabnya. Bila omong-omong dengan mereka, ia sering merasa canggung. Bukan apa-apa, tapi karena mereka telah serba lebih tahu, rasanya. Mardi, si calon insinyur pertanian, bercerita tentang harapannya, keinginannya untuk membantu para petani. Yati yang prihatin dengan perekonomian desanya kepingin mendirikan koperasi. Ning ikut bangga, sekaligus bertanya-tanya kepada diri sendiri: apa yang bisa ia lakukan, ia sumbangsihkan.

“Tapi kau sudah mulai untuk menjadi petani yang baik. Kami baru bercita-cita,” kata Mardi. Ning menghela napas, mengeluh kepada diri sendiri.

Setiap malam Minggu, mereka ke rumah Mbah Ompong, kakek tua yang tetap jago meneplak kendang, untuk berlatih gamelan. Mardi sangat gagah dengan rambutnya yang selalu licin persis jalak. Tampan, justru karena ia prasaja, sederhana. Ning gelisah, hanyut antara ladrang6) dan ketawang7). Mardi serba tersenyum, dan mencuri pandang kepada Ning dengan tangan tetap melenting-melentingkan tabuh menelusuri demung. Ada debaran dalam dada Ning, yang justru harus disembunyikannya, di sudut keperempuanan hatinya.

Dan Ning memang terus tumbuh. Kesunyian menggulung turun seperti layar ketoprak. Tak terasa, ia telah memasuki musim ketiga puluh empat. Dadanya yang dulu kerempeng telah mekar ditumbuhi bukit kembar. Serba berdebur dalam mereguk hari-hari.

Ning tertegun ketika sebuah kenyataan menantinya: kawin. Ia tak pernah menginginkan semuanya akan tiba secepat itu. Ia merasa diseret masuk hutan liwang-liwung, hutan lebat membuat bingung.

Kang Yono telah melamarnya. Ning tahu, ia lelaki yang baik, petani yang tekun mengayunkan cangkul. Lelaki yang ramah, tubuhnya kekar berkulit coklat matang, sering membantu memanggulkan padi ke tempat penggilingan. Pernah, Ning dipergoki Yono ketika sedang melamun melintasi ladang jagung. Ah, seharusnya Ning tahu apa yang tersembunyi di balik sinar mata yang begitu tajam itu.

Tapi, Ning merasa ragu. “Bisakah aku tresna padanya, yang belum akrab kukenal, yang enam tahun lebih tua,” Ning merasa tak rela untuk menyerahkan sampur tresnanya.

Ia ingin memberikan kepada seseorang yang lain. Kepada Mardi. Mardi juga baik. Kebaikan mungkin adalah tresna. Tapi, tresna yang bagaimana? Ning berharap, meski ia merasa tak berharga dan amat jauh untuk menggapainya. Kebelumdewasaan akan sulit memberikan makna. Ya, betapa sulitnya untuk memahami. Dan, harapan itu seperti menjadi seribu layang-layang putus.

Ning termangu di bawah rumpun bambu. Daun-daun bambu yang garing berkitiran di sekitarnya. Nyanyian yang nyeri.

Sebuah seruan, memanggil namanya, menyentakkan lamunannya. Tinuk sudah duduk di sampingnya. Tinuk, salah seorang teman senasib: putus sekolah, bahkan sebelum lulus SMP.

“Eh, sudah dengar kabarnya Sum? Kasihan dia.”

Ning meneleng.

“Dia mau dikawinkan sama Amin. Jelas dia tidak suka, tapi, yah, terpaksa! Siapa coba yang sudi sama lelaki yang gemblung macam itu?”

Amin adalah tangan kanan seorang babah makelar, yang dengan halus akan merebut hak petani untuk menentukan harga panen tembakau. Para petani sulit menolak, apalagi kalau awalnya sudah utang modal, apa boleh buat. Lagak Amin memang mentereng, keluar-masuk desa selalu pakai sepeda motor yang derumnya minta ampun memekakkan.

“Tapi, orang tua Sum dipaksa. Ngawur saja! Padahal dia ‘kan sudah punya bojo, punya anak?”

Ning bergidik mengingat senyum kelam dan mata yang suka melirik kurang ajar itu.

“Kasihan Sum. Kerjanya menangis terus sekarang. Siapa yang tidak merasa keranta-ranta8), ya?”

Ning berpaling sambil mengusap sebutir air yang meleleh ke pipinya.

“Ning…?”

Ning mengerjapkan-ngerjapkan matanya. “Tidak apa-apa.…”

Malamnya, di pangkuan Simbok, Ning bercerita. Di pangkuan Simbok, rasa damai merayap-rayap. Simbok, meski teteknya sudah kempes, selalu siap menyediakan telaga air susu yang menyegarkan dan penuh kekuatan. Ning ingin telanjang, dan mereka berbincang sebagai dua orang perempuan dewasa. Simbok mengajaknya menelusuri pematang kesumarahan, yang begitu sering disingkiri. Simbok mengajaknya menembangkan langgam syukur, yang begitu sering disumbat dan menghantam-hantam dada. Begitu banyak bekal pitutur[i] yang diberikannya pada Ning tercinta. Berlinang air matanya mengantar Ning berlari-lari ke ara-ara baru yang telah dipilihnya, dengan bahagia.

Lembut dan hangat, memberi keteguhan, Simbok mengelus rambut Ning. Malam semakin tua. ***

(Pemenang Penghargaan Sayembara Mengarang Cerpen femina 2006; termuat dalam kumpulan cerpen Lintasan Cinta, PBMR ANDI, 2007)

Catatan:
  Maskumambang = bentuk komposisi tembang macapat, biasanya dipakai untuk melukiskan kisah sedih atau keprihatinan yang mendalam.
  suwuk = berakhir
  bandotan = nama sejenis perdu
  terjemahan bebas = “He, pengantin datang, mari kita hamparkan tikar!”
  petan = mencari kutut
  ngrasani = bergosip
  jamuran = nama permainan tradisional
  ladrang = gending berirama cepat
  ketawang = gending berirama lambat
  keranta-ranta = sedih pilu
  pitutur = nasihat

Comments

Popular posts from this blog

7 Humor Natal yang Bikin Terpingkal-pingkal

120+ Penyanyi Indonesia 80-an: Sebuah Kurasi Memori

Bukan a piece of conversation, tapi a piece of confusion