Ini bukan kisah cinta; ini kisah Cinta



Pertama kulihat labelnya... Teenlit... ha ha ha... asyem! Ini bacaan para ababil, pikirku

Lalu, ada satu kalimat aneh di sampul belakangnya, Ini bukan kisah cinta; ini kisah Cinta.

Walahhhh... apalagi ini?? Bukannya kisah cinta yang biasa di teenlit itu pasti soal... anak ababil, cantik-tampan, galau, sakit parah mau mati, imajinasi liar, dan sejenisnya... emangnya kisah Cinta macam apa yang bisa ditawarkan sebuah buku seperti ini.

Aku membacanya dan mulai cengar cengir sendiri waktu mendapati berbagai kosakata jawa di buku ini: ndesit, rewang, kere munggah bale, rudapeksa, ketiban sampur, tumbu entuk tutup... dan banyak lagi... heeeeee...

Jalan cerita tentang seorang anak desa yang galau setelah lulus SMA, mencoba mencari pengalaman, terkena kemalangan, ditolong orang, ... ah... cerita yang wajar... biasa wae.

Eitsss! Tunggu! Aku menemukan sebuah lagu kepasrahan yang dinyanyikan oleh Bu Mujiyo yang Siwi, anaknya pergi dari rumah

Neng gunung wah neng ngare
Gusti Allah ana
Nyanga ngendi paranmu
Mesthi ana uga
Endi kang dadi cipta
Lan usiking ati
Kabeh mesti kapirsan
Ing Allah Hyang Widi

Sebuah lagu kepasrahan. Sebuah lagu pengharapan. Bahwa dimanapun kita berada-di puncak gunung kebahagiaan, di lembah kelam kedukaan-Tuhan senantias menyertai kita. Tidak pernah meninggalkan kita. Bahkan bukan hanya keberadaan kita, tetapi juga gelisah gulana hati kita, Tuhan mempedulikannya. Dan dalam kepeduliaanNYA, Dia memelihara kita.

Pencarian Bu Mujiyo... Wah!

Upacara yang dilakukan bu Gino untuk Siwi... wah!

Widi dan teman-temannya... wah!

Lalu bab terakhir ini...

Angin adalah agen yang misterius. Ia menemalikan perasaan orang-orang yang senasib dengan benang-benang yang halus dan dingin. Dalam bisikannya ia mengingatkan: bahwa kejadian-kejadian buruk tidak mendefinisikan kehidupan kita. Mereka-kejadian-kejadian buruk itu-hanyalah cara-cara kasar untuk memalingkan pandangan kita dari keindahan... Dan bahwa kita tidak perlu berusaha untuk dicintai-kita hanya perlu memberikan diri untuk dicintai, untuk menyambut cinta.

Ups! Aku batalkan pendapatku tentang buku ini hanya cocok untuk ababil.

Jika ada yang butuh referensi buku sederhana namun menyentuh tentang pencarian Cinta,... aku pikir buku ini sangat tepat untuknya! Bukan hanya untuk ababil, tetapi untuk siapapun. Sungguh!

Waw! Beneran ini bukan kisah cinta; ini kisah Cinta!

--Sri Rejeki Swandayani

* Ulasan ini berdasarkan Dalam Rinai Hujan (GPU, 2012). Novel ini diterbitkan ulang oleh Pustaka Patria (2020) bersama dengan dua novel lain dalam Trilogi Temanggung, yaitu Warrior dan Temanggung, Yogyakarta.

Comments

Popular posts from this blog

7 Humor Natal yang Bikin Terpingkal-pingkal

Edisi Koleksi Terbatas 50 Tahun Majalah Bobo Cerpen & Dongeng: Benarkah “Terbaik Sepanjang Masa”?

Setengah Hari di Rumah Atsiri