Teladan Kelembutan Hati Sri Melalui Novel Warrior
Diskusi ringan terjadi saat bookaholics -- Atrica Choirun Nisa, Duhita Dwaya Abhirama, Erido Abineri Pravasta, Dhanni Ratnaningtyas, dan Mohammad Erstda Trapsilantya -- membahas novel berjudul Warrior.
Novel yang mengemas nuansa era 1980-an ini terbilang unik untuk didiskusikan. Pasalnya, bukan karena pokok cerita yang tidak umum. Tapi, lebih pada pengemasan kisah yang unik. Penulis lihai dalam menyajikan kisah dengan bahasa bilingual, Indonesia dan Jawa. Hal yang tidak biasa ada pada novel berjenis teenlit.
“Aku sempat bingung lho mengartikan maksud cerita, yang disampaikan dalam bahasa Jawa,” celetuk Duhita mengawali percakapan. “Kenapa bingung?” tanya yang lain kompak. “Bahasa Jawanya tergolong nggak umum, sih,” jawab Duhita. Yang lain pun mengangguk setuju.
Bahasa Jawa memang sangat dekat dengan keseharian. Namun, penuturan beberapa kisah dalam novel Warrior menggunakan bahasa Jawa yang levelnya agak kurang umum. Praktis, beberapa bookaholic kebingungan buat mencerna bahasa yang kurang umum ini.
Oke-oke, kalau ngomentarin soal bahasa dalam buku, rasanya kurang menarik, deh. Trus, gimana tuh soal ceritanya sendiri? Cerita dalam novel ini memang cukup simpel. Mengisahkan seorang anak cewek bernama Sri. Dia menjadi duta sekolah dalam lomba gerak jalan. Sayang, Sri tidak memiliki sepatu yang layak. Nah, cara Sri mendapatkan sepatu inilah yang menjadi cerita utama.
“Kasihan banget ya Sri. Masak, ke sekolah aja, masih kudu pakai sepatu berlubang, sih,” celetuk Dhanni. Dia mengingat bookaholic lain untuk selalu bersyukur dengan anugerah yang ada sekarang. Pernyataan Dhanni sontak membuat yang lain terperanga.
Sri adalah anak bakul lopis di pasar. Sepeninggal ayahnya, sang ibu harus jadi tulang punggung keluarga. Penghasilan yang kurang dari cukup itu praktis membuat Sri tidak bisa berbuat banyak. Apa yang ada, itulah hartanya. Bahkan, sepatu berlubang sekalipun.
“Yang ngejengkelin tuh sikap teman-teman Sri itu, lho,” ujar Erido membuat yang lain menoleh padanya. Erido simpati pada Sri yang sering diolok-olok sang teman. Terutama dengan latar belakang keluarga Sri. Para siswa di SMP Negeri Ngadirejo selalu mengejek Sri dengan menirukan lagu si Unyil. Liriknya diganti menjadi: Pis ketan lopis tiwul … Pis, ketan lopis, tiwul…
Yup, Sri memang orang yang tertutup. Biasanya, pribadi introvert tidak mudah menerima olokan. Bagi mereka yang sensitif, olokan sekecil apa pun pasti akan dipikir. Nggak bisa disalahkan juga, dong! Trus, apa nih yang kalian dapet setelah membaca novel ini?
Dhanni mencoba menjawab. “Di sini kita bisa lihat kesederhanaan seorang Sri dalam menghadapi hidup,” tuturnya. “Nggak cuma itu,” sambung Atrica. “Kita juga bisa mencontoh pengorbanan Sri sebagai seorang manusia, yang menolong sesama.”
Meski Sri tergolong belum cukup memenuhi kebutuhan pribadi, jiwa sosialnya tidak mati. Impitan keadaan membuat Sri tahu rasanya kesusahan. “Ada rasa bahagia tak terlukiskan ketika hati menuruti keinginan untuk berbagi.” Begitu kata Sri, tokoh utama dalam novel ini. (car)
Sumber: Indo Pos Online, Senin, 07 Jan 2008
* Artikel ini berdasarkan Warrior: Sepatu untuk Sahabat (GPU, 2007). Novel ini diterbitkan ulang oleh Pustaka Patria (2020) bersama dengan dua novel lain dalam Trilogi Temanggung, yaitu Dalam Rinai Hujan dan Temanggung, Yogyakarta.
Comments
Post a Comment