Teenlit dengan Gaya Tutur yang Apik



Tanggal 21 Februari kemarin gue diundang GPU untuk acara talkshow di toko buku Gramedia Botani Square Bogor, dan untuk kedua kalinya gue ketemu Mas Arie Saptaji, yang kali ini juga ikut mempromosikan teenlit terbarunya berjudul “Warrior: Sepatu untuk Sahabat”. Langsung dong nodong tandatangan sama penulisnya.

Setiba di rumah gue langsung baca (sayangnya nggak bisa selesai dalam satu hari karena kerjaan gue masih menumpuk). Baru baca setengah buku aja, beberapa kalimat dan gaya bertutur Mas Arie udah bikin gue meleleh. Yup, Mas Arie piawai sekali menggambarkan situasi dan mendeskripsikan sesuatu, yang jadi kelemahan gue dalam bertutur kisah selama ini.

Salah satu kalimat deskripsi yang jadi favorit gue adalah ini: “Bunyi air yang menetes-netes di ceruk gua dan menggemericik di sepanjang sungai kecil, ditingkahi cericit burung di balik dahan pohon-pohon yang rindang, merengkuh mereka dalam atmosfer yang adem, purba, dan misterius.”

Menurut gue, untuk bacaan berlabel teenlit, buku Mas Arie ini sungguh luar biasa. Selain bahasanya indah, tokoh Sri dalam buku ini juga bukan seperti tokoh2 kebanyakan di teenlit lain. Sri anak seorang bakul lopis, hidup sederhana cenderung kekurangan, tekadnya dan akhlaknya sungguh terpuji. Kisah Sri sederhana sekali. Hanya masalah dia nggak punya uang untuk beli sepatu Warrior, merk yang sedang ngetop pada tahun 80-an.

Bagi remaja tahun 80-an (seperti gue, tentunya, tau kan umur gue berapa?) pasti banyak sekali kejadian di buku ini yang bakal jadi nostalgia. Ngeri mendengar berita tentang Petrus, gerhana matahari total, peluncuran Discovery, dan lain-lain, termasuk betapa ngetopnya sepatu Warrior zaman gue SMP/SMA dulu.

Banyak pengalaman Sri yang bisa gue samakan dengan pengalaman gue dulu. Sepatu yang bolong (meski sepatu Sri bolong di kelingking sedangkan sepatu gue bolong di jempol) hanyalah salah satunya. Gue juga ‘anak gunung’ yang berasal dari keluarga menengah, sehingga beli sepatu cuma bisa setahun sekali. Seperti Sri, gue pernah jadi anggota pasukan gerak jalan yang bakal ikut lomba dan masalah yang sama terjadi pada gue juga: sepatu bolong. Karena memang belum tiba waktunya untuk minta ‘jatah preman’ ke ortu, gue sempet bingung dari mana duit buat beli Warrior baru? Yup, sepatu itu pula yang dinobatkan jadi sepatu seragam untuk gerak jalan zaman gue SMP dulu. Karena dulu gue rajin bikin kartu ucapan, gue bikin lah banyak2 dan gue jual ke temen2 sekolah. Hasilnya, uang 8000 perak bisa buat beli sepatu Warrior! Memang sih, beberapa ribu rupiah akhirnya nodong ke ortu buat nambahin, tapi tetep ortu gue senang karena gue mau usaha sendiri.

Gerhana matahari total, seperti pengalaman Sri, waktu itu banyak yang ketakutan dan malah mengurung diri di rumah. Tapi alhamdulillah, ortu gue malah ngajak anak2 mereka langsung berangkat ke Borobudur khusus buat menyaksikan peristiwa alam seumur hidup ini. Ya mana ada orang yang hidup sampe usianya 400 tahun? Sampe gerhana matahari total berikutnya? Situasi yang digambarkan Mas Arie di buku ini betul2 persis seperti yang gue alamin di Borobudur. Dan adik gue pake acara nangis segala karena tiba2 bumi jadi gelap gulita di siang bolong…hehehe.

Cara bertutur Mas Arie yang menggunakan beberapa istilah Jawa juga familier, meski yang gue pakai adalah bahasa Sunda. Di kota kecil macam Bogor (seperti di Ngadirejo, Temanggung, tempat kisah Sri terjadi) orang2 bicara dengan bahasa daerah. Campur2 lah dengan bahasa Indonesia. Yang nggak bisa bahasa Jawa nggak perlu khawatir, karena di halaman belakang ada glosari.

Benar kan? Bahasa yang indah dan baik bukan hanya untuk karya sastra dewasa. Sebuah teenlit pun bisa dinikmati dengan gaya bertutur yang apik. Kisahnya memang sederhana, emosi pembaca memang tidak dibuat naik-turun drastis, tapi ini betul2 bacaan yang layak dinikmati remaja sekarang maupun ‘mantan’ remaja tahun 80-an. Kisah Sri adalah kisah kita semua, masalahnya betul2 bersahaja dan bisa kita temui di kejadian sehari-hari. Yang sangat jarang gue temui adalah sebuah teenlit yang cara berceritanya bisa bikin gue meleleh seperti ini.

Kudos, Mas Arie! Empat bintang dari lima untuk buku ini.

--Poppy D. Chusfany, penulis The Bookaholic Club.

* Ulasan ini berdasarkan Warrior: Sepatu untuk Sahabat (GPU, 2007). Novel ini diterbitkan ulang oleh Pustaka Patria (2020) bersama dengan dua novel lain dalam Trilogi Temanggung, yaitu Dalam Rinai Hujan dan Temanggung, Yogyakarta.

Comments

Popular posts from this blog

7 Humor Natal yang Bikin Terpingkal-pingkal

Edisi Koleksi Terbatas 50 Tahun Majalah Bobo Cerpen & Dongeng: Benarkah “Terbaik Sepanjang Masa”?

Setengah Hari di Rumah Atsiri