Horor Malah Jadi Komedi
Malam Satu Suro (Sisworo Gautama Putra, 1988)
Menyambut tahun baru Jawa, saya menyempatkan nonton film horor era Orde Baru, Malam Satu Suro. Ternyata tidak seseram yang saya bayangkan, malah banyak lucunya: mulai dari geli sampai betul-betul ngakak.
Garis besar ceritanya: Suketi alias Sundel Bolong dibangkitkan dari kematian dan diangkat anak oleh Ki Rengga. Bardo, pemburu dari Jakarta (ehem), meminang Suketi dan mereka pun menikah pada malam yang jadi judul film ini. Ada orang jahat yang tidak senang melihat kebahagiaan keluarga Bardo. Mereka menyerang Suketi dan membikinnya jadi Sundel Bolong lagi. Sundel Bolong membalas dendam, menghabisi orang-orang jahat itu. Cunthel. (Kalau baca sinopsis di Wikipedia, seluruh kelokan cerita dibeberkan semua.)
Nonton film ini, sceara kemasan seperti teater tradisional (ketoprak, ludruk, wayang orang, atau pentas Srimulat di teve saat mereka menampilkan cerita horor), tentu dengan penggarapan yang lebih sinematis dan berbagai efek spesial yang sangat pe-de pada zamannya.
Jalan cerita yang konyol jangan terlalu dipusingkan, toh maksudnya memang mendongengi kita dengan ujung pesan moral/pesan sosial yang hitam-putih. Dialog yang kaku juga sekadar menjelaskan situasi (latar belakang Suketi, misalnya), nyaris tak ada yang berupa pertukaran pemikiran atau perbantahan. Dan, benar saja, dengan tidak menghiraukan logika cerita, film ini bikin betah juga, dan saya menemukan beberapa detail yang asyik.
* Nama "Suketi" dikotakan menjadi "Uke". Amboi!
* Buyar sudah imajinasi saya tentang "Selamat Malam", lagu ciptaan Vina Panduwinata yang dinyanyikannya sendiri sebagai penutup album Cium Pipiku (1987)! Lagu ini berkelebat sebanyak tiga kali sepanjang film, yang pertama nyaris satu lagu utuh mengiringi montase yang menggambarkan kebahagian keluarga Bardo dan Suketi, bisa jadi video klip tersendiri. Kini, kalau dengar lagi lagu itu, bakal terbayang-bayang wajah Sundel Bolong dengan sepasang mata hitam dan rambut panjang njebombok.
* Meskipun kekonyolan dan keabsurdan jalan cerita sudah jadi komedi tersendiri, film ini menempatkan secara khusus dua adegan pemancing tawa yang nyaris tak berhubungan dengan jalan cerita, mirip gara-gara dalam pentas wayang orang. Yang pertama melibatkan bakul bakpao, yang kedua mempersilakan Bokir me-lip sync "Tembok Derita"-nya Asmin Cayder, dengan tata produksi yang tak kalah dari Chandra Kirana-nya Mbak Diah Iskandar di TVRI, sampai memunculkan Superman segala. Tampil dalam adegan itu, nama Boris dan Dorman Borisman (dengan adegan ikonik bareng ular) muncul besar di poster film. Rupanya, selain Suzanna sendiri, mereka dianggap magnet untuk menarik minat penonton.
* Sebelum adegan gara-gara tadi, tersaji sebuah adegan penuh patos: Sundel Bolong menggali kubur putrinya, menimang jasadnya, memasukkannya ke dalam peti mati, dan menyeret peti mati itu, seperti Panji Tengkorak. Sundel Bolong pun siap menjalankan terornya.
* Entah kenapa saya senang melihat Sundel Bolong menjalankan aksi balas dendamnya seorang diri (salah satunya melibatkan boneka beruang dan sempat-sempatnya pula Mbak Sun menempelkan tulisan "Orang Ini Di Obral"--dengan di terpisah, Mbak Sun belum belajar dari Ivan Lanin). Suami, polisi, dan bahkan Ki Renggo cukup jadi penonton yang terlongong-longong.
* Saya ngakak ketika Sundel Bolong memberikan pesan terakhir kepada Rio, anak laki-lakinya (film menjelaskan: anak Bardo dan Suketi bukan jadi-jadian, tapi anak beneran wkwkwk, padahal bagus lho kalau dieskplorasi dalam film tersendiri). Pesan khas ibu-ibu PKK!
* Frasa "Sombong amat!" ternyata muncul juga di sini, tetapi tentu saja kalah terkenal dari versi Mandra yang jadi meme itu.
* Film ini sama sekali tidak menjelaskan makna sakral "malam satu Suro", hanya menggunakannya sebagai latar waktu pernikahan Suketi dan Bardo.
* Film ini tersedia dalam versi restorasi berdurasi 1.19.29 di Disney+ Hotstar. Ada pula versi awal dengan kualitas gambar yang lebih jelek, tetapi durasinya utuh 1.23.49 (antara lain di Daily Motion). Artinya, ada selisih: 4.20. Adegan yang sudah lolos sensor pada 1988 nyatanya masih dikerat untuk masa kini. Pesan moralnya: sensor film saat ini lebih holier-than-thou daripada di masa Orde Baru.
Selamat menyambut Tahun Baru Jawa di tengah bedhidhing yang menggigilkan. "Sura dira jayaningrat lebur dening pangastuti!" kata Ki Rengga.
Comments
Post a Comment