Setengah Hari di Rumah Atsiri
Wewangian. Tanam-tanaman. Bunga-bungaan dan buah-buahan. Kisah-kisah di baliknya. Kita menelusurinya melalui petak-petak taman dan rangkaian gedung bertata arsitektur sedap dipandang.
Rumah Atsiri Indonesia (RAI) mengemasnya di sebuah destinasi wisata yang berlokasi di Desa Plumbon. Kompleks ini terlihat dari kejauhan, menghampar di sisi kanan, saat kita menyusuri jalan berkelok menuju Tawangmangu dari arah Solo.
Semula saya mengira atsiri adalah nama sejenis tanaman, seperti cengkih, pala, atau sereh. Tanaman ini khusus dibudidayakan untuk diolah jadi aneka produk minyak dan parfum. Seperti apa ya bentuk tanaman ini? Entah kenapa saya tak tergoda untuk mencarinya di Google. Saya membayangkan tanaman itu jadi ikon unggulan RAI.
Nyatanya, tentu saja, saya keliru. Atsiri bukan jenis tanaman. Tidak ada tanaman atsiri. Atsiri tidak lain adalah jenis minyak. Minyak atsiri adalah padanan bahasa Indonesia untuk essential oil, yaitu senyawa yang diekstrak dari bagian tumbuhan dan diperoleh melalui proses penyulingan. Nah, RAI menaungi berbagai kegiatan terkait rekreasi, penelitian, dan pengembangan minyak atsiri.
Rabu (12/7) pagi itu, atas kemurahan hati Sri Rejeki Swandayani (saya biasa menyapanya Iik), kami berkesempatan mengunjunginya. Begitu kami turun dari KRL di Stasiun Palur, Mas Nanang sudah siap menunggu, dan mobil pun melenggang santai menempuh jarak 29 km.
Gedung utama RAI menempati bangunan bekas pabrik Citronella Indonesia-Bulgaria dari tahun 1963 yang telah direstorasi. Ruang tunggunya berdinding terbuka, jadi tempat memajang sejumlah peralatan dan perlengkapan pabrik yang masih tersisa. Pengharum ruangan dari meja lobi menebarkan aroma wangi yang menyapa hidung dengan lembut.
Sambil menunggu jadwal kunjungan ke museum dan taman, Iik mengajak kami cuci mata melihat toko-toko yang mengelilingi area lobi. Di situ tersedia aneka produk dan cindera mata khas, termasuk bibit dan tanaman hias bagi yang suka berkebun. Areanya benderang dan aroma wangi yang lembut terus menyelubungi kami.
Kami lalu turun ke area resto, makan siang sambil menikmati Plaza Marigold, membayangkan Shah Rukh Khan dan Kajol berlari-larian di sela-selanya, menyanyikan lagu-lagu cinta. Minuman yang saya pesan dibubuhi beberapa helai daun bunga marigold, warnanya kuning cerah dan rasanya kecut-kecut segar.
Perut kenyang, kami melangkah ke museum. Keliling museum dijadwalkan satu jam sekali, didampingi educator atau pemandu yang menerangkan sejarah minyak atsiri sejak 2000 tahun SM. Kita jadi tahu berbagai fakta unik atsiri, misalnya untuk mendapatkan 1 kg ekstrak mawar perlu bahan baku 4.000 kg bunga mawar segar. Museum juga memamerkan peralatan dan perlengkapan asli untuk memproduksi minyak atsiri, mulai dari botol berusia 50 tahun, dokumen lawas, hingga mesin penyulingan kuno.
Wisata edukasi berlanjut di The Gardens, area taman dengan koleksi berbagai macam tanaman atsiri. Pemandu akan mengarahkan pengunjung untuk meraba tanaman tertentu dan mencium aromanya atau menunjukkan bagian mana yang bisa dikonsumsi. Kita jadi tahu perbedaan antara bunga salvia dan bunga lavender, antara sereh dapur dan sereh wangi. Kita juga diajak mengunjungi area penyulingan untuk melihat secara langsung beberapa cara penyulingan dan memasuki greenhouse.
Pemandu, baik di museum maupun taman, lancar berbagi pengetahuan seputar atsiri dan tangkas merespons celetukan pengunjung. Sembari berkeliling, pengunjung leluasa berfoto dengan beraneka latar cantik (jika diperlukan, pemandu sigap membantu). Rute keliling museum dan taman semuanya bermuara balik ke lobi.
Waktu setengah hari jelas tak cukup untuk menengok seluruh sudut RAI. Mau berlama-lama, takut menggigil disergap hawa dingin lereng Gunung Lawu. Kami pun pulang dengan mencangking oleh-oleh roti bagelen rasa jahe, kayu manis, dan rosemary serta sirop kalamonde. Sampai jumpa lagi, Atsiri!
Comments
Post a Comment