Under the Banner of Hillsong


Saya sudah menyelesaikan dua miniseri ini beberapa minggu lalu, tetapi masih termangu-mangu untuk menulis ulasannya. Selain ada order yang lebih mendesak untuk diselesaikan, kedua miniseri ini lumayan memicu trauma yang bikin deleg-deleg (apa padanan bahasa Inggrisnya ya?), padahal saya sudah telanjur berjanji kepada Mikael Johani untuk mengulasnya. Dia hanya meminta pendapat saya tentang Under the Banner of Heaven, tapi saya melihat keterkaitan di antara keduanya. Nah, sekarang, mumpung ada waktu luang, dan untuk menuntaskan utang, berikut ini catatan saya tentang kedua miniseri tersebut.

 

Under the Banner of Heaven (Dustin Lance Black, 2022, selanjutnya disebut UBH) adalah miniseri drama kriminal berdasarkan kisah nyata yang diangkat dari buku berjudul sama karya Jon Krakauer. Andrew Garfield dan Gil Birmingham berperan sebagai dua detektif yang menyelidiki pembunuhan brutal dan kaitannya dengan ajaran Mormon.

 

The Secrets of Hillsong (Stacey Lee, 2023, selanjutnya disebut SH) adalah miniseri dokumenter yang dalam empat bagian memaparkan bagaimana Hillsong, megachurch yang berpusat di Australia itu, menutup-nutupi berbagai macam skandal dan tindak kriminal. SH berpusat pada kisah dan wawancara dengan Carl Lentz, pastor gereja cabang New York yang dipecat oleh Hillsong, dan istrinya, Laura.

 

Kisah yang berbeda, dari latar yang berbeda. UBH menyoroti ajaran dan praktik The Church of Jesus Christ of Latter-Day Saints atau disingkat LDS (Gereja Yesus Kristus dari Orang-orang Suci Zaman Akhir atau OSZA). Mereka mengakui adanya nabi baru, Joseph Smith, yang menerima pewahyuan baru berupa The Book of Mormon (Kitab Mormon), yang diakui sebagai kitab suci di samping Alkitab. Gereja Kristen arus utama menganggap mereka sebagai sempalan atau bidat, suatu aliran sesat; sebaliknya, mereka mengklaim diri mereka sebagai “satu-satunya gereja yang benar”, sedangkan gereja-gereja lain telah menyimpang dari ajaran yang benar.

 

Adapun Hillsong Church, biasanya dikenal sebagai Hillsong, adalah gereja Kristen kharismatik yang dirintis Brian Houston dan istrinya, Bobbie, pada 1983 di Australia dan menyebar ke seluruh dunia. Mereka dikenal melalui musik penyembahan kontemporer, lagu-lagu produksi mereka banyak dinyayikan dalam ibadah berbagai gereja. Sepanjang pertengahan 2010-an, nama Hillsong berkibar-kibar dan menjadi sorotan media. Pada 2016, pendetanya yang terkenal bagaikan seleb, Carl Lentz, membaptis penyanyi pop Justin Bieber di bak mandi pemain NBA, Tyson Chandler. Setahun sebelumnya, penghasilan gereja itu mencapai $100 juta, sebagian besar bebas pajak. Sampai sebuah skandal mengguncangkan mereka.

 

Namun, kisah dengan dua latar budaya gereja yang jauh berbeda ini nyatanya menyajikan sejumlah kesejajaran yang menggelitik. Saya akan membahas tiga aspek saja.

 

 

Mesin Uang

Awalnya, Hillsong berkembang biasa-biasa saja. Titik balik terjadi setelah Brian pergi ke Amerika Serikat dan bertemu dengan sejumlah pengajar teologi kemakmuran. Pulangnya, ia menerapkan ilmu itu di gerejanya. Berhasil! Roda pertumbuhan menggelinding lebih pesat. Gereja menjadi “mesin uang”. Selain jadi gereja besar di Australia, Hillsong menyebar ke seluruh dunia. Pada puncak kejayaannya, gereja ini ada di 30 negara dengan 150.000 warga.

 

Kalau gereja adalah tubuh, saat kepala makmur, mestinya tangan dan kaki juga mampu. Tidak demikian ketika gereja menjadi mesin uang. Level bawah dimotivasi untuk kerja sukarela atas nama "melayani Tuhan" dan "mengambil bagian dalam visi Tuhan bagi jemaat-Nya". Sebaliknya, sah-sah saja para pemimpin level atas menikmati gaya hidup mewah dan honor khotbah gila-gilaan dari pemasukan tanpa potongan pajak. Namun, saat diminta memberikan bantuan finansial kepada warga jemaat yang miskin, mereka berdalih "ilegal bagi gereja membagi-bagikan uang." Betapa manipulatif.

 

UBH tidak banyak menyoroti keuangan Gereja LDS. Saat Jeb Pyre tengah menangani kasus pembunuhan, dua putri kembarnya yang berumur delapan tahun menjalani persiapan baptisan. Mereka ditanya oleh uskup (pendeta) gereja antara lain soal persepuluhan, menandakan bahwa hal tersebut merupakan salah satu praktik ibadah yang penting. Anak seumur itu, yang mestinya belum bekerja mencari penghasilan, sudah diwajibkan membayar persepuluhan. Diwajibkan, bukan diajak untuk belajar memberi dengan sukarela dan sukacita.

 

Kepemimpinan Abusif

Baik LDS maupun Hillsong menjalankan kepemimpinan yang rasis dan seksis. Tampuk kepemimpinan diduduki oleh laki-laki kulit putih. Ajaran dan praktik mereka merendahkan perempuan.

 

Di Hillsong perempuan dan orang kulit hitam tampil di panggung sekadar sebagai aksesoris, pajangan, penarik massa, bukan pengkhotbah atau pemimpin utama. Mereka diam-diam menganut falsafah Jawa: Swarga nunut neraka katut. Seorang perempuan kulit hitam lulusan Hillsong College beberapa tahun setelah Carl Lentz tidak kunjung diberi kesempatan jadi pastor, dan malah berakhir jadi nanny di keluarga seorang pastor. Mereka juga merasa kecolongan karena meloloskan seorang singer yang ternyata gay dan kemudian memecatnya.

 

Brenda Lafferty, perempuan yang jadi korban pembunuhan di UBH dianggap sebagai perempuan yang berbahaya, melewati batas, dan memengaruhi perempuan lain untuk membangkang terhadap suami masing-masing. “Dosa”-nya ini hanya bisa diampuni dengan “penebusan darah”—diterjemahkan secara harfiah jadi pembunuhan brutal.

 

Di lingkungan kharismatik, warga akrab dengan peringatan untuk “tidak menjamah orang yang diurapi Tuhan” alias dilarang membangkang terhadap pemimpin dan Hillsong, tentu saja, mempraktikkannya. Di UBH, Jeb Pyre berkonsultasi dengan uskup gerejanya tentang pengajaran kekerasan di Gereja LDS pada masa lalu, dan diperintahkan untuk tidak mempertanyakan hal itu.

 

Tentu saja, kepemimpinan abusif tersebut dilandasi oleh dalih-dalih berdasarkan firman Tuhan. Dalam SH episode 2 ada kutipan khotbah yang membuat saya tersentak.

 

Dengan membawa tongkat gembala, Carl Lentz berkata, Gembala yang benar-benar baik akan melihat si domba kecil yang berjalan menjauh itu dan memukul kakinya, kadang-kadang bahkan mematahkan kakinya… Saat kalian melihat lukisan bagus tentang Yesus yang berjalan di bukit sambil memanggul seekor anak domba, di situ Yesus baru saja mematahkan kaki domba itu.” Apa?! Enggak salah dengar ini?

 

Tidak ada bukti praktik semacam itu dilakukan para gembala domba. Kalau sampai dilakukan, risikonya sangat merepotkan. Di satu sisi, domba dikenal punya ingatan yang kuat. Alih-alih jadi dekat dengan si gembala, ia akan terus ingat siapa yang mematahkan kakinya dan takut pada si gembala. Di sisi lain, domba yang patah kaki akan terus jadi beban si gembala dan memperlambat gerak kawanan. Namun, mitos ini dipelintir sebagai dalih pembenaran atas tindakan abusif para pemimpin gereja: “Karena Yesus pun melakukannya!” Betapa gila!

 

Ranah Kriminal

Seandainya SH hanya mengulik skandal personal yang menimpa Carl Lentz, miniseri ini hanyalah suatu tontonan dangkal dan memuakkan, mengaduk-aduk kehidupan pribadi pendeta seleb dengan kedok hiburan, dan saya tak akan sudi menyarankan kepada Anda untuk menontonnya.

 

Namun, para wartawan yang di balik miniseri ini mengendus ketidakberesan dalam cara-cara Brian Houston menangani kasus Carl tersebut. Mereka pun mengivestigasi lebih jauh. Terkuaklah sejarah kelam Hillsong, salah satunya adalah skandal kriminal yang melibatkan Frank Houston, ayah Brian. Frank ternyata seorang pedofilia, yang berulang-ulang melakukan pelecehan seksual terhadap anak-anak di bawah umur sejak awal melayani di Selandia Baru, jauh sebelum Hillson berdiri. Frank sempat mengaku kepada Brian, tetapi mengatakan bahwa ia hanya melakukannya satu kali kepada satu orang anak. Brian tidak melaporkan kasus itu kepada polisi. Frank tetap menjadi warga kehormatan Hillsong sampai meninggal pada 2004. Kini Brian harus berdiri di depan pengadilan dengan tuduhan menutup-nutupi kasus ayahnya. Vonis akan dijatuhkan Agustus nanti.

 

Terhadap kasus perselingkuhan, skandal personal yang harusnya diselesaikan dalam forum terbatas, Brian mengumbarnya di media massa melalui sejumlah wawancara. Sebaliknya, terhadap kasus pedofilia ayahnya, kasus kriminal yang harus dipertanggungjawabkan di muka pengadilan, ia malah menutup-nutupinya. Tim investigasi mendapatkan bahwa selama bertahun-tahun Hillsong tak tersentuh dan bisa menutup-nutupi kasus tersebut karena pihak-pihak yang berwenang (polisi, dokter, politisi) tak lain adalah simpatisan dan dekat dengan tim kepemimpinan Hillsong.

 

Dalam hal ini, orang Mormon pelaku kriminalitas dalam UBH bersikap lebih ksatria. Gereja LDS secara arus utama, bersikap politically correct agar berterima di tengah masyarakat. Namun, ada kelompok sempalan yang mempraktikkan “ajaran murni” dan ekstrem: poligami, menikahi anak di bawah, anti-pajak (anti-pemerintah), penebusan darah (baca: pembunuhan). Mereka tidak meminjam tangan pemerintah untuk melindungi diri, tetapi terang-terangan melawan pemerintah. Judul buku dan miniseri ini mengacu pada khotbah John Taylor, presiden ketiga Gereja LDS, pada 1880 yang membela praktik poligami: “God is greater than the United States, and when the Government conflicts with heaven, we will be ranged under the banner of heaven against the Government. The United States says we cannot marry more than one wife. God says different.”

 

Baik LDS maupun Hillsong menganggap skandal yang mengguncang gereja mereka sebagai penganiayaan dan serangan Iblis, yang hendak merusak berkat Tuhan atas mereka. Serangan itu justru membuktikan bahwa mereka berada di jalan yang benar. Ganjilnya, Hillsong menggunakan perempuan (Bobbie Houston) untuk mewakili tim kepemimpinan, berbicara menangkis serangan ini dan meminta dukungan jemaat agar kebenaran segera dinyatakan.

 

Catatan: Kasus kepemimpinan abusif secara ringkas bernas dikemas dalam “When We Are in Need”, episode kedelapan The Last of Us musim pertama. Adapun C.S. Lewis secara jitu menyatakan: “Of all tyrannies, a tyranny sincerely exercised for the good of its victims may be the most oppressive. It would be better to live under robber barons than under omnipotent moral busybodies. The robber baron's cruelty may sometimes sleep, his cupidity may at some point be satiated; but those who torment us for our own good will torment us without end for they do so with the approval of their own conscience.”

 

Mary Jones, mantan anggota jemaat Hillsong New York, pada bagian akhir miniseri ini berkata: “Kalian menanam di tanah yang busuk, kalian akan mendapatkan buah yang busuk… Saya ingin melihat salah satu dari dua hal ini terjadi. Saya ingin melihat perubahan, atau saya ingin melihat Hillsong dibubarkan.” Saya mengaminkan perkataannya. ***

Comments

Popular posts from this blog

7 Humor Natal yang Bikin Terpingkal-pingkal

120+ Penyanyi Indonesia 80-an: Sebuah Kurasi Memori

Bukan a piece of conversation, tapi a piece of confusion