Makan Siang Bareng Kanca Lawas yang Punya Talenta Terpendam dalam Masak-Memasak


Siapa bakal menolak jika seorang kanca lawas mengajak makan bareng menikmati sajian spesial bikinannya sendiri? Ketika saya iseng memajang hasil survei ayam geprek terenak di Yogya comotan dari Twitter/X, Mbak Yekti nongol berkomentar, "Mas, cobain ayam geprekku ya, biar bisa ikutan kompetisi!" Ah, undangan ini sayang untuk dilewatkan.

Semesta mendukung, mumpung cuaca cerah di musim hujan yang terlambat datang, Sabtu (7/1) menjelang makan siang kami--Rina dan saya--meluncur ke "Ayam Bakar & Sambal Gami Oma Jogja" di Perumahan Griya Damai, selatan Pasar Kolombo, Jl. Kaliurang.

Mbak Yekti teman seangkatan di SMA 3 Temanggung, dia A2 (Biologi), saya A1 (Fisika). Meskipun beda kelas, kami bisa lumayan akrab karena jumlah murid satu sekolah memang tak banyak. Kami baru bertemu lagi pada akhir 2016 saat reuni angkatan. Pulangnya, saya tahu tidak mungkin balik ke Yogya naik bus umum, bisa terjebak macet atau malah tidak ada bus sama sekali. Mbak Yekti, yang datang diantar suami, Mas Yatno, berbaik hati memberi saya tumpangan sampai di depan rumah. Saat ini mereka sudah pensiun dan berdomisili di Yogya gara-gara terjebak pandemi, dan menjajal bisnis kuliner kecil-kecilan untuk mengisi waktu.

Mas Yatno menunggu kami di depan gang karena kami sempat kebingungan mengikuti petunjuk Google Maps. Sebentar kemudian Mbak Yekti muncul, mengobrol beberapa waktu, lalu minta izin menghilang ke dapur untuk menyiapkan makanan. Sambil menunggu hidangan, Mas Yatno menceritakan asal mula warung makan mereka dan juga kisah hidupnya.

Mas Yatno pujakesuma (putra Jawa kelahiran Sumatra), lahir dan besar di Medan, sempat kuliah di UPN Yogyakarta, tapi memilih hengkang di tahun kedua karena merasa salah jurusan, gagal di mata kuliah kimia, lalu pindah ke sekolah pelayaran di Semarang. "Saya mau jadi nakhoda," katanya.

Empat tahun kemudian, ia jadi lulusan terbaik, sempat berkeliling dunia, lalu pada 1988 terdampar di Bontang, kerja di pabrik pupuk Kaltim bagian pelabuhan dan distribusi, ketemu dengan Yekti. "Kakak Yekti tidak setuju, maunya menjodohkan adiknya dengan insinyur-insinyur itu. Saya menerabasnya, menyurati ayah Yekti di Temanggung, melamarnya," katanya. Mereka menikah pada 1990.

Insting menulis saya menyala. "Menarik ini dibikin memoar." Saya cuma membatin sambil menyeruput es jeruk segar.

Mbak Yekti mengeluarkan hasil karyanya: dua porsi nasi dan paha ayam bakar bumbu oles spesial, ditemani sambal gami. Masih ada susulan: ayam matah bali dan ayam geprek.

"Waktu awal menikah, saya tidak suka masak," kata Mbak Yekti. Ia sempat kaget dengan selera dan porsi makan suaminya. Mas Yatno mengaku mengerutkan kening ketika istrinya memasak sayur kampung, seperti lodeh, yang kemudian dihangatkan lagi dan dihidangkan lagi. Rina dan saya yang berposisi terbalik--Rina lidah Sumatra, saya lidah Jawa--tertawa. "Sayur nget-ngetan itu enak banget," komentar saya sambil mengacungkan jempol.

Sedikit-sedikit ia lalu belajar memasak, termasuk meminta resep pada mertua, untuk meladeni lidah suami. Pernah ia membikin rendang, ternyata kebanyakan merica. Di waktu lain ia memodifikasi resep tertentu, dan hasilnya ternyata memuaskan. Belakangan, ketika internet memudahkan kita belajar secara online, ia mencoba-coba resep dari situs masak-memasak, dan juga mengotak-atik menurut selera. "Ada juga dia mencicipi masakan tertentu, lalu menirunya, bumbunya ditambah, eh jadinya memang lebih enak," kata Mas Yatno. Saudara dan teman-teman yang merasakan olahannya kebanyakan memberikan jempol. "Tapi saya belum berani jualan saat itu," katanya.

Saat pandemi, mereka tidak bisa balik ke Bontang, berdua saja di Yogya karena anak-anak sudah bekerja dan ada yang sudah berkeluarga di Jakarta, bosan menganggur, Mbak Yekti iseng mau berjualan makanan secara online. "Coba saja," Mas Yatno mendukung. Saatnya mendayagunakan talenta yang selama ini terpendam.

Mereka mengawalinya berdua. Hari pertama belum ada pesanan. Hari kedua baru muncul dering pesanan. Mbak Yekti sempat panik, menyenggol panci, berkelontangan di dapur, dan kelamaan menyiapkan pesanan. Makin lama, tentu saja, makin lancar. Pesanan makin meningkat sampai mereka berdua kewalahan, sampai kemudian mempekerjakan asisten, yang saat ini berjumlah empat orang.

Kami menyimak sambil menikmati aneka sajian ayam. Bumbu rempah ayam bakarnya sedap, ayam matahnya terasa segar, daging ayam gepreknya dimarinasi dulu, baru digoreng tepung, renyah kemriuk jadinya. Satu menu yang paling bikin penasaran: sambal gami. "Ini sambal khas Bontang. Gami sebenarnya artinya sambal. Jadi, sambal gami ya sambal sambal," kata Mas Yatno. Gami tersaji dalam cobek panas, minyaknya masih meletup-letup mendidih, pedas-asam-manis panas kemranyas. Gami inilah yang membuat saya nekat memesan nasi porsi kedua.

Laman Instagram mereka kurang aktif, tapi penjualan lewat GoFood berjalan bagus. Sebagian pelanggan kepengin makan di tempat, dan kaget mendapati warung makan ini bertempat di rumah berteras tak begitu luas. Baru belakangan Mas Yatno menyediakan dua meja kecil dengan empat kursi. Seorang bos suka membawa tamu ke situ, berganti-ganti, paham dia tidak bisa langsung membawa banyak orang. Pernah ada rombongan sebanyak 30 orang, dan mereka pun menikmati hidangan di tikar lesehan yang digelar dadakan.

Kami termasuk yang beruntung dijamu di teras kecil itu. Kecil, tapi sangat rapi, resik, dan sejuk, mirip kebun rahasia, dikelilingi tanaman daun menghijau, anggrek-anggrek yang bergelantungan, plus hiburan kicau kenari, sedangkan dinding sisi selatan dipasangi cermin, membuat ruang terasa lebih lapang. Nyaman betul untuk ngobrol akrab, dan bikin makan tambah lahap.




Comments

Popular posts from this blog

7 Humor Natal yang Bikin Terpingkal-pingkal

Edisi Koleksi Terbatas 50 Tahun Majalah Bobo Cerpen & Dongeng: Benarkah “Terbaik Sepanjang Masa”?

Setengah Hari di Rumah Atsiri