The Greatest Night in Pop (Bao Nguyen, 2024)

 


Bikin haru saja. Bikin terkenang-kenang era memble tapi kece 1980-an ketika We Are the World membahana di seluruh dunia, menguatkan kesadaran akan musibah kelaparan di Etiopia. Sebenarnya yang lebih akrab di telinga saya versi tiruan artis-artis Indonesia yang membentuk Suara Persaudaraan, menyanyikan Anak-Anak Terang, lagu karya keroyokan James F. Sundah, Adjie Soetama, BJ Rianto, Addie MS, Imaniar Noorsaid, Lydia Noorsaid, Utha Likumahuwa, dan Chris Manusama. Nyanyi rame-rame jadi tren selama beberapa waktu. Lalu, ketika saya bergabung dengan sebuah gereja karismatik, berapi-api dalam cinta mula-mula, mengejar surga menyingkiri dunia, We Are the World termasuk lagu yang dihantam, tabu didengarkan, biar tidak melunturkan iman. Alasannya? Meskipun bukan seperti lagu-lagu rock satanik, itu lagu, satu, humanis, tidak meninggikan Tuhan, tapi mengagungkan manusia. Dua, itu lagu memelintirkan firman Tuhan. Yesus menolak godaan Iblis di padang gurun untuk mengubah batu menjadi roti, tapi bagian lirik yang dinyanyikan Willie Nelson seenaknya menyatakan: As God has shown us by turning stone to bread. Di luar itu, proyek kemanusiaan tersebut dianggap sok-sokan saja, toh dana terkumpul tak sepenuhnya terkucur ke orang-orang lapar di Afrika, kebanyakan malah disikat oknum-oknum korup.

Cukup lama saya menutup kuping terhadap lagu itu. Sampai pandangan teologis saya soal budaya populer melunak. Sampai era Youtube memudahkan kita mengakses lagu dan video lawas. Saya menyimaknya, dan memasukkannya ke daftar putar Top 40 Lagu Barat di laptop. Tanpa terlalu menghiraukan liriknya, lagu itu menampilkan harmonisasi elok perpaduan belasan warna suara para artisnya, sangat nyaman di telinga, menghangatkan jiwa, mengundang kita ikut bergumam menyenandungkannya. Kalaupun penolakan kolot itu mau diungkit, memang apa salahnya merayakan persaudaraan umat manusia? Soal roti dan batu, catatan Injil menyiratkan bahwa Yesus bukannya tidak mampu, melainkan tidak mau. Beda besar. Bisa saja di kesempatan lain Dia mengubah roti menjadi batu--atau mukjizat lain yang setara dengan itu: air jadi anggur, misalnya. Tapi biarlah itu diurus para teolog profesional. Saya cukup sesekali menyimaknya, khususnya versi video yang lebih hidup dan berpijar. (Belakangan saya juga suka versi cover empat penyanyi Indonesia: Allan, Hana, Novia, dan Yan.)

The Greatest Night in Pop mengajak kita mengikuti proses di balik layar perekaman lagu itu, dengan pemandu utama Lionel Richie. Meskipun secara retrospektif sudah tahu hasil akhirnya, kita tetap ikut tegang deg-degan juga karena nyatanya tidaklah gampang mengumpulkan artis-artis besar dengan berbagai latar dan berbeda-beda kesibukan saat belum ada internet dan WA. Mulai dari tercetusnya ide sampai malam rekaman tak sampai sebulan. Mereka mesti mencari hari, tanggal, dan tempat yang pas karena perekaman mesti dilakukan dalam satu sesi saja. Lagu belum siap, Lionel Richie bekerja sama dengan Michael Jackson, di rumah Michael, diganggu binatang-binatang peliharaan Michael; Stevie Wonder sebenarnya diajak tapi dia telat merespons telepon. Lalu, rekaman demo. Demo digandakan pada kaset (ah, kaset, barang yang kini sudah antik dan langka, jadi latar unik dalam film iklan layanan masyarakat sangat bagus besutan Wim Wenders, Perfect Days). Kaset dan undangan disebarkan. Dan, kita pun menantikan malam puncak itu.

Malam itu, 25 Januari 1985--39 tahun yang lalu!--di sebuah studio di Los Angeles usai pergelaran American Music Award, berkumpullah bintang-bintang pop papan atas, meninggalkan ego mereka di pintu studio, berbaur dengan koleganya, merekam lagu secara sukarela tanpa bayaran untuk sebuah proyek kemanusiaan. Kita tidak hanya mendengarkan cerita, tapi ikut menyimak secara langsung melalui footage-footage dokumentasi. Begini toh suasana saat penyanyi-penyanyi ulung berinteraksi, dengan drama-drama kecil yang menyatukan mereka--Diana Ross meminta tanda tangan Darryl Hall, memperdebatkan "better" atau "brighter," ada penyanyi yang kebanyakan minum anggur, sampai Bob Dylan, dengan suara bariton sengau garang menghipnotis itu, yang ragu kalau-kalau jangkauan vokalnya tidak nyambung. Inilah rupanya yang terjadi di balik video yang hidup dan berpijar itu. "Well, well, well, let's realize that a change can only come when we stand together as one..."

Usai rekaman, ketika orang-orang sudah pergi, Diana Ross masih bertahan di studio. Dia terisak. "I don't want this to be over." Usai nonton, karena We Are the World tidak diputar utuh di film itu, saya memutar videonya di Youtube. Beberapa kali. Saya ingin menahan kehangatan itu selama beberapa waktu.

(Tayang di Netflix)

Comments

Popular posts from this blog

7 Humor Natal yang Bikin Terpingkal-pingkal

120+ Penyanyi Indonesia 80-an: Sebuah Kurasi Memori

Bukan a piece of conversation, tapi a piece of confusion