Tempat Beribadah

Dalam kebanyakan agama, silakan dikoreksi jika saya keliru, ada ibadah raya atau ibadah umum yang diselenggarakan di rumah ibadah resmi atau mungkin di lapangan terbuka untuk menampung banyaknya umat. Namun, ibadah bersama tidak mesti dilakukan di rumah ibadah. Ibadah bersama dalam lingkup yang lebih kecil atau ibadah keluarga biasanya cukup dilakukan dilakukan di rumah warga. Selebihnya, ada ibadah pribadi, yang tentulah lebih leluasa tempat pelaksanaannya.

Dalam kebanyakan agama, sekali lagi, silakan dikoreksi jika saya keliru, rumah ibadah biasanya berada di tengah-tengah warga penganut agama tersebut. Dengan kata lain, warga umumnya beribadah di rumah ibadah terdekat dengan rumahnya. Jika sebuah kampung dihuni pemeluk agama A dan B, misalnya, di kampung itu pun ada rumah ibadah agama A dan agama B.

Orang Kristen, khususnya di gereja bukan arus utama dan di wilayah urban, tidak demikian. Mereka tidak otomatis beribadah di gereja terdekat. Orang Kristen terbagi dalam berbagai "kandang", golongan, aliran, atau denominasi, dan gereja terdekat belum tentu merupakan "kandang" yang paling cocok dengannya.

Saya tinggal di Kemetiran, selatan parkiran Stasiun Tugu. Di dekat rumah, tinggal berjalan kaki, ada Gereja Katolik dan Gereja Pentakosta. Saya tidak beribadah ke situ karena saya warga GKJ Jatimulyo, Jl. Magelang (meskipun saya juga jarang datang beribadah ke sini).

Sebaliknya, Pak Yohanes yang tinggal di Jl. Magelang, misalnya, belum tentu ia bergereja di salah satu gereja di sepanjang Jl. Magelang. Mungkin saja ia sekeluarga beribadah di sebuah gereja di Jl. Solo. Seorang teman saya tinggal di Kronggahan. Setiap Minggu pagi ia beribadah di gerejanya yang berada di daerah Sedayu. Minggu malamnya, ia mengikuti ibadah di gereja cabang yang berada di Demangan. Itu untuk urusan ibadah raya atau ibadah umum.

Lain lagi untuk ibadah kelompok kecil atau ibadah keluarga. Pak Markus, misalnya, satu-satunya orang Kristen di kampung A. Ia beribadah di gereja yang kebaktian umum di sebuah mal di pusat kota, 10 kilometer dari kampungnya. Ketika suatu malam ia menjadi tuan rumah ibadah kelompok kecil gerejanya, tak ayal tamu-tamu yang datang ke rumahnya adalah orang-orang dari daerah-daerah lain.

Dengan demikian, baik dalam ibadah umum maupun ibadah kelompok kecil, gereja atau rumah orang Kristen sangat mungkin didatangi oleh warga gereja yang berasal dari daerah-daerah lain yang jauh. Mereka tidak menganggap kedekatan sebagai alasan utama untuk bergabung dengan gereja tertentu. Mereka lebih memikirkan kesamaan aliran (denominasi) dan kenyamanan berkomunitas. Jarak yang jauh tidak dianggap sebagai beban, malah jadi bukti komitmen dan kesetiaan.

SKB 2 Menteri tentang rumah ibadah tidak memahami dinamika persebaran warga dalam bergereja ini. Sangat sulit, nyaris mustahil, gereja tertentu memenuhi persyaratannya, khususnya bagian dukungan warga sekitar. Terpaksalah menerima nasib: pembangunan gereja mangkrak. Atau, menempuh jalur lain, misalnya menyewa ruang di mal, hotel, atau gedung pertemuan untuk tempat ibadah umum rutin. Atau entah jalur lain mana lagi.

Adapun dalam hal ibadah rumah, akan selalu ada kemungkinan rumah orang Kristen didatangi orang-orang Kristen dari daerah lain untuk beribadah bersama. Bukan berarti rumah itu mau dijadikan gereja, tetapi sekadar digunakan untuk ibadah bersama sesekali.

Pemeluk agama lain mungkin memandangnya aneh. Lebih tepatnya: berbeda. Praktik ibadah orang beragama lain sudah sewajarnya berbeda dari praktik ibadah kita, bukan?

Praktik ibadah yang berbeda itu mungkin terkesan ribut dan menimbulkan ketidaknyamanan bagi pemeluk agama lain. Namun, kalau perbedaan tersebut dianggap sebagai ancaman, gangguan, bahkan sumber keresahan sosial yang mau tidak mau harus segera dihentikan, bukankah respons semacam itu terlalu berlebihan? Bukankah perbedaan itu bagian dari realitas kebhinnekaan kita, yang semestinya dirayakan, bukan dicurigai?

Bagaimanapun, negara ini menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah "menurut agamanya dan kepercayaannya itu." Frasa itu belum diubah menjadi "menurut izin, keikhlasan, dan kesepakatan warga dan ormas setempat," bukan?

Kalau memang si tuan rumah lalai tidak minta izin kepada ketua RT atau warga setepat, mestinya bisa ditegur, diajak berbicara secara baik-baik, misalnya diminta menurunkan volume suara ibadah. Masakan harus digeruduk, dibubarkan, dan diancam-ancam dengan senjata tajam seolah-olah menghadapi gerombolan kriminal?

Comments

  1. Di negeri ini kekerasan bukan barang mahal. Kekerasan diobral atas dasar "dia berbeda dengan saya". Di semua aspek kehidupan kita di negeri ini, bukankah memang itu yang terjadi?

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

7 Humor Natal yang Bikin Terpingkal-pingkal

Edisi Koleksi Terbatas 50 Tahun Majalah Bobo Cerpen & Dongeng: Benarkah “Terbaik Sepanjang Masa”?

Setengah Hari di Rumah Atsiri