Jangan Menjual Motor Rusak
“Enggak, Mas,” jawabku.
Rupanya ia masih ingat rencanaku
akan menjual motor itu beberapa waktu lalu.
Sudah lebih dari lima belas tahun
motor ini menemaniku. Sejak aku masih lajang sampai sekarang beranak dua. Menelusuri
jalan-jalan dan lorong-lorong kota Jogja. Siang, malam. Hujan, panas. Seingatku
ia pernah dua kali tabrakan, tapi dua-duanya ketika bukan aku yang mengendarainya.
Kadang juga bocor ban atau kehabisan bensin di tengah jalan atau macet karena
businya kotor. Selebihnya hubungan kami manis dan harmonis.
Bagaimanapun, lama kelamaan ia
makin ringkih. Bantalan joknya mengeras meski sudah dua kali kuganti. Sudah
tidak nyaman untuk berboncengan berempat, apalagi saat anak-anak bukan balita
lagi. Ada rencana hendak menjualnya, untuk modal beli yang baru, paling tidak
yang lebih kokoh. Rencana tinggal rencana karena rezeki belum kunjung mampir.
“Tidak usah dijual saja, Pak.
Dipakai sampai rusak,” kata montir itu.
Aku meneleng tertarik.
“Saya juga ada satu motor bekas
di rumah,” lanjutnya. “Sudah rusak. Saya biarkan saja. Untuk menghormati.
Hitung-hitung ‘kan sudah berjasa juga.”
Apa? Montir ini menghargai jasa
motornya?
Menarik juga, pikirku. Sayangnya,
aku bukan perawat motor yang baik.
Tetapi kemudian pikiranku
melintas ke arah lain: Bagaimana dengan—merawat hubungan? Apakah aku cukup
menghormati orang yang menyertaiku dalam suka dan duka? Ataukah aku
memperlakukannya serupa dengan barang: manis saat masih berguna, dan siap-siap
menyingkirkannya ketika hubungan itu berbalik jadi merepotkan?
Langit mendung, tetapi tampaknya
tidak akan segera turun hujan. Motorku menderu dalam keramaian lalu lintas
petang.
memang ada yang punya "kebiasaan" menyimpan barang-barang kenangan, karena "telah berjasa",
ReplyDeletetetapi ada juga yang tidak suka melakukannya, karena hidup itu hari ini dan besok, bukan yang sudah lalu.
ada yg berpendapat barang-barang tidak dipakai, apalagi rusak, lebih baik tidak ada di rumah, menuh-menuhi ruangan/tempat saja.
Tetapi kemudian pikiranku melintas ke arah lain: Bagaimana dengan—merawat hubungan? Apakah aku cukup menghormati orang yang menyertaiku dalam suka dan duka? Ataukah aku memperlakukannya serupa dengan barang: manis saat masih berguna, dan siap-siap menyingkirkannya ketika hubungan itu berbalik jadi merepotkan? <<<< ini intinya Pak... Kisah penuh makna
ReplyDeletehehe... begitulah, bos.
ReplyDelete