Posts

Showing posts with the label Review

Edisi Koleksi Terbatas 50 Tahun Majalah Bobo Cerpen & Dongeng: Benarkah “Terbaik Sepanjang Masa”?

Image
  “Cerpen dan dongeng ini dipilih berdasarkan karya penulis favorit pembaca Majalah Bobo dan mewakili era sepanjang 50 tahun Majalah Bobo,” tulis David Togatorop, Editor in Chief Majalah Bobo, dalam kata pengantar untuk Edisi Koleksi Terbatas 50 Tahun Majalah Bobo Cerpen & Dongeng.   Edisi khusus yang baru beredar pada minggu kedua Oktober 2023 ini tampil secara mewah, dengan sampul tebal berspot UV dan emboss warna emas serta, yang paling menyita perhatian saya, dibubuhi tagline “Terbaik Sepanjang Masa”. Saya tertarik untuk menilik sejauh mana tim redaksi Majalah Bobo bersungguh-sungguh untuk memenuhi klaim tersebut.   Saya tidak akan menyorotinya secara kualitas, apakah cerpen dan dongeng yang tersaji benar-benar yang “Terbaik” di antara yang pernah dimuat di Majalah Bobo, karena saya tidak memiliki kapasitas untuk itu. Mestinya redaksilah yang menjelaskan dasar pemilihan dan penyematan kategori “Terbaik” tersebut. Sayang sekali, redaksi tidak memaparkannya.   Karen

Hacksaw Ridge: Senjatanya adalah Tidak Memanggul Senjata

Image
Hacksaw Ridge menampilkan protagonis yang unik: Seorang prajurit yang terjun di medan tempur tanpa memanggul sepucuk senjata pun. Film perang ini diangkat dari kisah nyata Desmond Doss, orang Kristen dari Gereja Adven Hari Ketujuh di Virginia, AS, yang ikut berjuang pada Perang Dunia II sebagai tenaga medis. Atas jasanya, ia dianugerahi Medal of Honor oleh negaranya. Film ini disutradarai oleh Mel Gibson, yang memperlihatkan kepiawaiannya dalam menjalin adegan-adegan keseharian dengan kengerian medan tempur. Saat diputar di Festival Film Venesia pada 4 September 2016, Hacksaw Ridge mendapatkan standing ovation selama sepuluh menit. Hacksaw Ridge memaparkan perkembangan iman dan keyakinan Desmond Doss sebagai seorang pasifis dalam tiga tahap. Pembentukan. Kehidupan keluarga dan ajaran agama melatarbelakangi sikapnya. Perkelahian dengan adik yang nyaris berakhir fatal mencelikkan pengertian Desmond akan perintah keenam (“Jangan membunuh”) dalam Dasa Titah. Ibunya menegaskan, pembunuhan a

Kolya: Malaikat Kecil Pembawa Transformasi

Image
Karena asal berkicau di depan polisi rahasia, Louka kehilangan posisi terhormatnya di Czech Philharmonic Orchestra. Untuk mengongkosi hidupnya, ia hanya bisa bermain selo mengiringi upacara kremasi, dan kadang-kadang membersihkan batu nisan. Kalau ada yang bertanya, dia menjawab dirinya bermain di semacam ensambel. Di usia 55 tahun, ketika semestinya ia mengecap masa kejayaan, hidupnya malah macet. Di sisi lain, bujangan bersosok ala Sean Connery itu mirip ABG yang tengah ditimang-timang oleh pubertas. Meski baginya menjadi musisi berarti siap melajang, toh bukan berarti ia tak bisa menjawil sejumlah wanita. Dengan santainya ia mencemol bokong Klara yang tengah menyanyikan Mazmur 23 dengan khidmat. Ketika menerima murid perempuan, tak ayal gadis manis itu menjadi sasaran rayuannya. Singkatnya, kehidupan cintanya tanpa pelabuhan. Di luar itu, ia, tentu saja, membenci Rusia, yang tengah menginjak-injak negerinya. Ironisnya, justru dari Rusialah datang sebuah rahmat terselubung bagi kebun

Surat Terbuka untuk Marlina

Image
Marlina yang baik, Aku tergopoh-gopoh menontonmu tak lain karena puji-sanjung yang melingkupimu jauh-jauh hari sebelum kamu hadir di bioskop-bioskop negeri ini. Penggemar film mana yang tidak kemecer nonton film yang berkibar-kibar di Cannes? Siapa yang tidak kepincut menyimak akting Marsha Timothy yang diganjar penghargaan Aktris Terbaik di Sitges International Fantastic Film Festival 2017, antara lain dengan mengalahkan Nicole Kidman? Siapa yang tidak penasaran membaca berbagai ulasan serbakemilau dan cuitan penuh apresiasi di medsos? Sayangnya, Kamis malam itu hujan mengguyur Yogyakarta. Baru Jumat malam aku nekat menerobos gerimis, dan berhasil mendapatkan tempat duduk favorit di bioskop kesayanganku. Teman nonton jam tayang itu kira-kira 50 orang. Lumayan, tapi kalah jauh dari Justice League yang tumpat-padat. Kisahmu yang dibesut Mouly Surya ini membuka diri dengan pemandangan bentang savana Sumba, seorang pengendara motor melintasinya, diiringi musik ala Ennio Morricone dan buny

Mad Max: Fury Road: Kebrutalan dan Puisi

Image
It's fast, very, very fast. It's furious--not just furious, it's Furiosa. And, it's glorious, violently glorious. Is it mad? No. No. No. It's gilaaaaaaak! Ingat adegan kejar-kejaran truk di babak kedua "Raiders of the Lost Ark"? Ini kejaran-kejaran semacam itu digeber selama dua jam--tanpa babak ketiga! Dengan kendaraan yang lebih canggih (untuk tidak mengatakan lebih edan), dengan lokasi yang kian lama kian menantang, dengan pertarungan nasib yang makin ke belakang makin ganas, dengan kamera yang berdansa, dengan tokoh yang membikin kita luluh. Kendaraaannya. Aku bukan penggemar mobil. Tapi, melihat kendaraan-kendaraan futuristik di sini, aku ternganga-nganga, takjub dan sekaligus bungah. Kendaraan-kendaraan yang tampak menggeram menyeramkan, namun sekaligus terkesan dirancang dengan kegembiraan kanak-kanak. Ada mobil khusus untuk gitaris rock dan drummer yang meraung-raungkan musik perang! Lokasinya. Awalnya baluwarti batu karang berwajah tengkorak denga

12 Years a Slave: Film Perbudakan yang Bikin Megap-Megap

Image
Ini film tentang perbudakan: sebuah sistem yang mengganti namamu, menenggelamkan identitas dirimu, dan menakarmu berdasarkan produktivitas dan kepatuhanmu. Sebuah neraka di bumi. Judul film ini mungkin bisa di-Indonesia-kan jadi: 12 tahun untuk selamanya. Ada kebenaran universal, yang akan tetap menyeruak betapa pun hebat manusia berusaha menindasnya. Tetapi, ada juga kebodohan universal. Dan, manusia dengan bebal terus memeluknya, dan teperdaya hanya karena kebodohan itu malih rupa. Yang paling pahit, kebodohan itu dibentengi dengan penafsiran amburadul atas ayat-ayat Kitab Suci. Lihat saja bagaimana tuan tanah itu menafsirkan perumpamaan tentang tuan dan budak-budaknya sebagai pembenaran atas sistem perbudakan dan petunjuk tentang bagaimana mereka memperlakukan budak-budak itu. Menjijikkan! Mereka menyebut budak itu sebagai properti, sebagai binatang. Namun, selain memerah tenaganya dan mengungkung kebebasannya, si tuan juga bisa melahap tubuh si budak untuk memuaskan birahinya. Dan,

Petualangan Edan Kapten Jack

Image
Pirates of the Caribbean: Dead Man's Chest (Gore Verbinski, 2006) Film sebagai bahan refleksi tentang apa saja. Hehe, serius amat. Nyatanya, tak jarang kita nonton film cuma untuk ketawa, untuk bersenang-senang, untuk melonggarkan otot dari ketegangan, untuk mencairkan kejenuhan. Kadang-kadang seperti masuk ke dunia fantasi: naik perahu ayun raksasa yang membikin kita memekik di ketinggian, menjajal wahana luncur-gulung yang menggenjot jantung empot-empotan. Di lain waktu serasa pelarian: memimpikan petualangan mendebarkan di bagian-bagian dunia yang serbaliar, penuh rahasia, dan menjanjikan harta karun terpendam. Saat kita membiarkan diri kita disergap oleh aliran citra hidup yang terpancar dari layar lebar di depan mata. Pirates of the Caribbean: Dead Man's Chest mengingatkan kembali akan daya pikat itu. Meski bisa saja mencoba repot-repot menggali makna di balik kompas, kunci, peti, kebakaan, harga tebusan nyawa Jack Sparrow, atau dinamika hubungan ayah-anak -

Slide Show yang Elok

Image
Ida (Paweł Pawlikowski, 2013) Anna, seorang yatim-piatu, siap berikrar sebagai biarawati. Namun, suster kepala memintanya terlebih dahulu menemui kerabat terakhirnya. Dari bibinya itulah ia akhirnya tahu bahwa dirinya sebenarnya orang Yahudi dan bernama Ida. Mereka berdua lalu menelusuri penyebab kematian orangtua Ida dan di mana mereka dikuburkan. Film Polandia ini dialognya minimalis dan menawarkan bahasa gambar yang unik. Selain hitam-putih dan dalam rasio 4:3 layaknya film jadul, sepanjang film kamera merekam gambar demi gambar secara diam. Di dalam bingkai kamera, obyek berpose atau bergerak, tetapi kamera tidak pernah mengikuti mereka. Kamera hanya berpindah, mengambil gambar dari sudut pandang lain, dan obyek tetap dalam pose yang sama atau bergerak, tetapi kamera tetap menatap secara statis (mengingatkan pada foto-foto ajaib di film Harry Potter). Dan, dengan perspektif yang menarik: kadang kepala orang terpenggal, kadang hanya terlihat kaki terjulur dari kasur,

Nostalgia yang Restoratif

Image
Jalan Lain ke Tulehu: Sepakbola dan Ingatan yang Mengejar (Zen RS, Yogyakarta: Bentang Pustaka, 2014, 300 h.) Novel pertama yang selesai kubaca tahun ini. Kubeli 5 tahunan lalu karena menyukai "Beta Maluku: Cahaya dari Timur". Kukira buku ini sekadar novelisasi skenario filmnya. Ternyata bukan. Ia menawarkan cerita pendamping yang memperkaya pemahamanku akan konflik Maluku. Mungkin semula aku kurang tertarik karena novel ini berlatar dunia sepakbola. Aku tidak bisa main bola dan otomatis bukan penggemar bola. Waktu kecil sempat senang ikut ramai-ramai mbludhus nonton pertandingan di lapangan kampung, tetapi aku tidak pernah berminat nonton pertandingan bola di televisi. Yang kusukai adalah membaca berita atau artikel tentang bola, di tabloid Bola atau tulisan Sindhunata. Kukira aku lebih menyukai tulisan yang bagus daripada pertandingan yang bagus. Dan, novel ini menawarkan itu. Berkisah tentang Gentur, seorang stringer yang terjebak di tengah konflik Mal

Surga/Neraka Itu Dihadirkan

Image
Judul Buku:   Hari Minggu Ramai Sekali ; Penulis: Eko Saputra Poceratu ; Penerbit: Bentara, 201 9 ; Tebal: 84 h alaman “Anda tidak dapat membaca Alkitab tanpa menyimak pesan yang lantang bahwa Tuhan peduli akan mereka yang tersingkirkan, yang terinjak-injak, yang tertindas, yang rendah hati, yang memerlukan pertolongan—dengan kata lain, mereka yang menyadari kondisi mereka yang terhilang dan yang rindu untuk ditemukan,” kata Philip Yancey, seorang penulis dan jurnalis yang kerap menyuarakan kegelisahannya atas gereja. Membaca kumpulan puisi Eko Saputra Poceratu, Hari Minggu Ramai Sekali , terlihat penyair ini menyimak pesan Alkitab tersebut dengan kuat. Ia lalu mengumandangkan lagi pesan itu melalui puisi-puisinya yang kebanyakan berlatar Papua dan Maluku. Eko menegaskan sikap itu dalam semacam kredo penyair yang dicantumkan di bagian awal buku ini: “Pada awalnya Tuhan menciptakan kata,/lalu sastra,/ maka kutulis puisi sebagai bentuk/ paling realistis untuk melayani/ yang te