Tiga Jalan Hidup: Dua Jalan Hidup Manusia (Bagian 4 dari 6 Tulisan)
Manusia, pada dasarnya, religius. Melekat pada dirinya suatu kerinduan
untuk bersekutu dengan Khaliknya dan menikmati kehidupan yang harmonis dengan
Dia. "Jauh di dalam lubuk hati manusia," kata A.W. Tozer, "ada
suatu relung yang hanya patut ditempati oleh Allah." Persekutuan dengan
Allah ini vital bagi manusia karena "dalam Dia ada hidup" (Yohanes
1:4) dan "di dalam Dia kita hidup, kita bergerak, kita ada" (Kisah
Para Rasul 17:28).
Ketika manusia jatuh ke dalam dosa, kerinduan manusia akan Allah tetap
berdenyut dalam seluruh keberadaan dirinya. Akan tetapi, manusia telah mengalami kematian
rohani dan kehilangan kemuliaan Allah. Ia kehilangan kapasitas untuk mendekati
Allah karena "Allah itu Roh dan barangsiapa menyembah Dia, harus
menyembah-Nya dalam roh dan kebenaran" (Yohanes 4:24). Dan, seperti
diamati oleh G.K. Chesterton, sewaktu orang berhenti percaya kepada Allah yang
benar, bukan berarti ia berhenti percaya. Sebaliknya, ia akan mulai mempercayai
segala sesuatu yang lain, kendatipun itu adalah kebodohan. Kepercayaan yang
rusak ini secara garis besar terekspresi di dalam dua jalan hidup manusia.
Pertama, jalan imoralitas. Manusia
mengungkapkan pemberontakannya terhadap Allah dengan melakukan tindak
kejahatan. Ketika manusia jatuh ke dalam dosa di Taman Eden, salah satu akibat
pertama yang terjadi ialah ia membenci sesamanya (Kejadian 3:12). Kemudian,
keturunan Adam dan Hawa membunuh saudaranya sendiri (Kejadian 4:8).
Selanjutnya, manusia terseret ke dalam berbagai tindak kejahatan yang memilukan
hati Allah. Singkatnya, “segala kecenderungan hatinya selalu membuahkan
kejahatan semata-mata” (Kejadian 6:5; bandingkan dengan Roma 3:10-18).
Kedua, jalan moralitas. Ketika
jatuh ke dalam dosa manusia tersadar akan ketelanjangannya, dan berusaha
menutupi ketelanjangan itu dengan mengenakan cawat dari daun pohon ara
(Kejadian 3:7). Manusia mencoba menutupi pelanggaran dengan upaya mereka
sendiri. Manusia berusaha menebus kesalahan dengan kekuatan sendiri. Manusia
hendak menjadi juruselamat atas dosanya sendiri. Dalam perkembangannya,
mekanisme pembenaran diri manusia ini melahirkan berbagai bentuk agama dan
tatanan moral. Dengan menaati hukum-hukum agama dan moralitas, manusia berharap
akan mendapatkan jalan kembali kepada Allah.
Akan tetapi, jalan kedua ini tidak memadai. Pertama, kebaikan seseorang tidak
dapat menghapuskan pelanggarannya. Bahkan, kebaikan itu tetap merupakan sebentuk
pemberontakan terhadap Allah karena lahir dari kekuatan manusia sendiri, bukan
dari ketergantungannya terhadap Allah. Firman Tuhan menyatakan bahwa “mereka berusaha untuk mendirikan kebenaran mereka sendiri, maka mereka
tidak takluk kepada kebenaran Allah” (Roma 10:3). Kesalehan manusia seperti
kain kotor di mata Allah (Yesaya 64:6).
Kedua, ketaatan kita
tidak mungkin sempurna. Orang mungkin berdalih, “Memang tidak ada manusia yang
sempurna.” Kita pun cukup puas membandingkan diri dengan orang lain.
Kita
menggunakan standar penilaian kurva normal. "Orang kudus" dan
"orang jahat" itu sama-sama minoritas, mayoritas adalah "orang
baik-baik"—dan kita merasa aman tergolong dalam mayoritas itu. Akan
tetapi, standar kebenaran hukum Allah sempurna (Yakobus 2:10).
Ketiga, problem utama dosa
ialah rusaknya hubungan kasih dengan Allah. Hubungan yang rusak tidak dapat
dipulihkan melalui ketaatan kepada hukum agama dan moralitas. Kita perlu
didamaikan terlebih dahulu dengan Allah.
Jadi, baik jalan imoralitas maupun jalan moralitas, keduanya sama-sama
buntu. Semua orang yang menempuhnya pada akhirnya akan mengalami kebinasaan kekal
(2 Tesalonika 1:9). ***
Comments
Post a Comment