Lumayan Seru, Tapi Tanpa Kesegaran Baru



Miss Peregrine's Home for Peculiar Children (Tim Burton, AS, 2016).

Pertanyaan #1: Bagaimana rasanya jatuh cinta dengan pacar kakekmu (ya, pacar kakek, dan bukan nenekmu), yang berpenampilan seumuran kamu?

Pertanyaan #2: Jika ada satu hari dalam hidupmu yang dapat kaujalani berulang-ulang, hari manakah yang kaupilih? Mengapa?

Pertanyaan semacam itu meletik dalam benak saya ketika menonton Miss Peregrine's Home for Peculiar Children. Film terbaru Tim Burton ini diangkat dari novel berjudul sama karya Ransom Riggs. Saya belum membacanya. Saya berpegang pada pandangan bahwa film adaptasi yang baik mestinya mampu berdiri sendiri. Untuk menikmatinya, penonton tidak harus sudah akrab dengan materi asalnya.

Film ini merupakan perpaduan antara kisah fantasi, misteri, dan fiksi ilmiah, khususnya soal manipulasi waktu dan lorong waktu. Jalinan kisah dibingkai dalam dinamika relasi antara kakek, ayah, dan cucu. Ada pula bumbu sekilas kisah cinta yang melibatkan itu tadi: seorang perempuan dengan kakek dan cucunya.

Cinta segitiga--kalau bisa dibilang begitu itu--terjadi gara-gara kerangka waktu yang membingungkan. Dalam soal ini, Miss Peregrine merupakan campuran antara Groundhog Day dan Back to the Future. Ada konsep lingkaran waktu, suatu manipulasi waktu yang memungkinkan orang mengalami hari tertentu secara berulang-ulang tanpa menua. Namun, ada pula lorong waktu atau perjalanan antarwaktu, yang memungkinkan orang bertualang ulang-alik ke masa depan atau ke masa lampau. Film perlu waktu separuh durasi lebih untuk menggambarkan konsep ini sebelum akhirnya penonton disuguhi konflik yang lumayan sengit. Saya perlu membaca Wikipedia untuk memahami alur film ini. Visualisasinya sendiri menarik. Saya suka adegan waktu yang diputar kembali persis menjelang bom jatuh ke atap rumah.

Selebihnya film ini mengingatkan saya pada banyak film dan dongeng lain.

Secara struktur, film mirip dengan film lain Tim Burton, Edward Scissorhands. Kedua film ini sama-sama menggunakan format cerita berbingkai. Dalam Edward, yang mendongeng seorang nenek. Dalam Miss Peregrine, seorang kakek. Dalam Edward, dongeng itu merupakan asal-usul dari fenomena alam masa kini. Dalam Miss Peregrine, dongeng itu memaparkan sebuah dunia masa lalu, yang ternyata masih dapat dikunjungi dan berdampak pada masa kini. Dalam Edward, ada seorang manusia ganjil dengan kemampuan istimewa. Dalam Miss Peregrine, ada sekelompok manusia ganjil dengan kemampuan istimewa mereka masing-masing.

Film ini juga mengingatkan pada dongeng Putri Tidur, kisah tentang seorang pangeran dari masa depan, yang bertemu dan menyelamatkan seorang putri dari masa lalu.

Miss Peregrine sebenarnya berpotensi menggarap dinamika yang serupa dengan film Frequency. Dalam Frequency, seorang anak berhasil berkomunikasi lagi dengan ayahnya yang telah meninggal. Dalam Miss Peregrini, seorang cucu berkomunikasi lagi dengan cucunya. Menarik dicatat, si kakek bernama Abraham atau Abe dan cucunya bernama Jacob atau Jake. Sayang, si ayah bukan bernama Ishak. Sayang pula, adegan telepon antara kakek di masa lalu dan cucu di masa kini itu kurang membetot emosi, terkubur oleh kegaduhan kasus-kasus lain.

Soal penokohan, film ini mirip dengan Oliver Twist. Seperti Oliver, Jake (diperankan Asa Butterfield, yang sebelumnya tampi dalam film Hugo) tokoh yang lumayan datar, namun dikeliling oleh tokoh-tokoh pendamping dan antagonis yang amat meriah. Ia menemukan keistimewaannya hampir secara kebetulan, dan langsung cepat memutar akal untuk mendayagunakannya.

Secara keseluruhan, film ini seperti montase adegan-adegan berbagai film lama yang direkatkan pada jalinan cerita yang berbeda. Adegan membangkitkan kapal dari dasar lautan pernah muncul dalam Pirates of Caribbean; tokoh yang berubah menjadi burung kita temui di Spirited Away. Makhluk-makhluk yang dihidupkan Enoch mengingatkan pada ciptaan ilmuwan gila dalam The Nightmare Before Christmas. Miss Peregrine sendiri, diperankan Eva Green, tampil elegan, namun ada bayang-bayang Helena Bonham Carter di sana. Dengan kata lain, ini film yang lumayan seru, namun tidak terasa benar-benar baru. Barangkali seperti pengalaman Emma: ketika berjumpa dengan Jake, ia terkenang kembali kepada Abe.

Comments

Popular posts from this blog

7 Humor Natal yang Bikin Terpingkal-pingkal

Edisi Koleksi Terbatas 50 Tahun Majalah Bobo Cerpen & Dongeng: Benarkah “Terbaik Sepanjang Masa”?

Setengah Hari di Rumah Atsiri