Kado Kejutan

Sumber: pngtree


Desi duduk sendiri di bangku taman sekolah. Tangannya memegang sepucuk kartu. Wajahnya tampak murung. Seharusnya ia bergembira.

Seperti teman-teman sekelasnya, Desi baru saja menerima kartu undangan ke pesta ulang tahun Fika. Sebagai anak baru di sekolah ini, ternyata ia tidak dilewatkan. Ia bahkan tak menduga kalau akan mendapatkan undangan juga karena mereka berdua sebetulnya belum berkawan dekat. Selain saat perkenalan dulu, baru beberapa kali mereka bertegur sapa singkat bila kebetulan berpapasan.

Terus terang, Desilah yang enggan untuk mengenal Fika lebih jauh, justru setelah tahu sedikit tentang gadis berkacamata itu. Menurut info yang diperolehnya, Fika adalah satu-satunya anak di sekolah ini yang diantar-jemput naik mobil, dan juara kelas setiap kali penerimaan rapor.

Kedua atribut itulah—kaya dan pandai—yang membuat Desi memilih menjaga jarak. Memang, sepanjang pengamatannya, Fika bukanlah orang yang sombong dengan kelebihannya itu. Fika bahkan tergolong ramah, dan ia pun sempat satu kali ditawari ikut menumpang mobil. Kendatipun begitu, Desi merasa, ia mesti tahu diri.

Karenanya, lumayan tergeragap juga ia ketika menerima undangan itu tadi. Dan lebih kaget lagi ia saat melihat tanggal yang tercantum di sana: hari kelahiran mereka berdua ternyata persis sama! Fika akan merayakan ulang tahun kesebelas, sama seperti dirinya.

Hanya saja... hh, sebuah keperihan membuatnya menggigit bibir. Matanya menyipit, lalu ia menyapu bibirnya dengan lidah. Tanpa sadar, tangannya meremas ujung kartu itu.

***

Sekitar delapan bulan yang lalu, ayahnya terkena PHK. Ia ingat bagaimana ayahnya pulang dengan wajah kusut malam itu. Rumah mereka serasa dicekam kesenyapan mendadak. Setelah mandi, ayah meminta ibu, dia dan dua orang adiknya berkumpul di ruang tengah.

"Kita tahu Tuhan tidak akan meninggalkan kita. Ia turut bekerja untuk mendatangkan kebaikan dalam segala sesuatu yang kita alami. Kalian turut berdoa, ya, agar Tuhan membukakan jalan terang bagi kita semua?" hibur ayahnya

Ketika ayahnya mengucapkan "Amin", Desi mengusap air mata yang menggenangi pipinya.

Namun, rupanya pencobaan itu belum segera berakhir. Di tengah kesibukan mencari pekerjaan baru, ayahnya jatuh sakit karena radang ginjal. Hampir sebulan ia mesti terbaring di rumah sakit. Selama beberapa waktu kemudian ia hanya tinggal di rumah, membantu-bantu ibu menjaga kios.

Singkatnya, ia lalu ditawari pekerjaan oleh salah seorang saudara. Namun, untuk itu mereka sekeluarga harus pindah ke Bantul, Yogyakarta.

"Des, kau tidak apa-apa kalau kita harus kita pindah?" tanya ayahnya lembut.

Desi hanya bisa menggigit bibir dan mengangguk. Dadanya sebenarnya begitu sesak dan berat. Ingatan bahwa dia harus meninggalkan teman-teman dekatnya di Jakarta dan hidup di sebuah kota kecil membuat mulutnya terbungkam. Rasanya ia ingin mengatakan tidak, tetapi ia juga tidak tahan lagi kalau harus terus-menerus melihat kedua orang tuanya gelisah. Bagaimanapun, ia mencoba menghibur diri, mereka pasti sudah memikirkan yang terbaik dalam mengambil keputusan ini.

Begitulah, dua bulan lalu mereka sekeluarga pindah.

***

"Bu, ternyata ada temanku yang hari ulang tahunnya persis denganku," kata Desi begitu tiba di kios di depan rumah—ya, ibunya meneruskan usahanya itu di sini.

"O ya?" sahut ibunya yang sedang menimbang gula pasir yang telah diwadahi dalam plastik-plastik satu kiloan.

"Kata teman-teman pestanya bakal meriah. Pake 'ngundang band segala. Dia anak salah satu orang kaya di kota ini."

"Begitu."

Pembicaraan mereka terputus karena ada pembeli yang datang. Desi melayaninya.

"Aku makan dulu ya, Bu. Masak apa hari ini?" katanya setelah orang itu pergi.

"Ada semur tuh."

Desi mengambil tas sekolahnya dan beranjak.

"Des," cetus ibunya saat ia sedang menutup pintu kios.

"Kenapa, Bu?"

"Bagaimana dengan ulang tahunmu? Kau juga mau mengundang teman-temanmu?"

Desi nyengir dan mengangkat alis. Selama ini ia memang biasa merayakan ulang tahun dengan teman-teman dekatnya. Ibunya yang jago masak akan menyiapkan sendiri menu kesukaannya. Namun, kali ini, setelah kerepotan sekian bulan terakhir ini, rasanya....

"Nggak usahlah, Bu. Nanti dikira saingan sama temanku itu."

"Ibu pikir kita nanti syukuran saja kecil-kecilan. Sekalian kita antar ke tetangga-tetangga. Kita sudah pindah dengan selamat, pekerjaan ayahmu membaik, usaha ibu juga mulai jalan. Tuhan mendengar doa kita, Des."

"Terserah Ibu, deh. Aku sudah lapar nih."

Desi bergegas menuju rumah, lalu masuk ke kamar untuk berganti baju dulu.

Ketika membuka lemari pakaian, ia berbisik, "Tuhan, sekalipun nggak ada pesta, aku pengin ulang tahun kali ini benar-benar istimewa."

***

Hari Minggu lalu, kakak Guru Sekolah Minggu (GSM) di gereja memberikan ayat hafalan dari Mazmur 139:13. “Sebab Engkaulah yang membentuk buah pinggangku, menenun aku dalam kandungan ibuku.”

Kakak GSM juga mengajarkan cara menghafalkan ayat. Ia membuka Alkitab dan membaca ayat itu beberapa kali. Setelah itu, ia menutup Alkitab dan mencoba mengingat-ingat ayat itu. Ia mengucapkannya pelan-pelan.

“Sebab… Engkaulah… yang… membentuk… buah… pinggangku….”

Kakak GSM bercerita tentang susah-payah seorang ibu ketika sedang mengandung. Selama sembilan bulan Tuhan membentuk janin di dalam rahimnya. Pemazmur menggambarkannya dengan kata menenun. Ketika tiba saatnya melahirkan, kadang-kadang si ibu harus mempertaruhkan nyawa.

Desi tidak terlalu paham menyimak penjelasan itu. Namun, ada perkataan kakak GSM yang menarik perhatiannya.

“Jadi, ketika kita berulang tahun, ada dua hal yang dapat kita rayakan. Pertama, tentu saja, kelahiran kita ke dunia ini. Kedua, kita juga mengenang perjuangan ibu dalam melahirkan kita.“

Pagi ini ia kembali memikir-mikirkan perkataan itu. Keningnya tampak berkerut. Namun, tak lama kemudian, mulutnya membuka. Ia tersenyum.

"Cihui, aku dapat ide!"

***

Hari ulang tahunnya tiba. Pagi-pagi ia mengendap-endap ke dapur. Ibu sedang menyiapkan makan pagi. Pelan-pelan ia mendekati ibunya, merangkulnya dari belakang, dan mencium lehernya.

"Ih, apa-apaan ini! Geli, ah!" seru ibunya kaget.

"Selamat ulang tahun, Bu!" balasnya girang.

"Ulang tahun apa? Kamu 'kan yang ulang tahun? Nanti, syukurannya nanti!"

"Aduh, Ibu! Memang aku yang ulang tahun. Tapi, aku mau ngucapin selamat pada Ibu. Selamat ulang tahun melahirkan aku!"

Mulut ibunya ternganga.

"Sini, Bu, aku ada sesuatu untuk Ibu."

Desi menyeret ibunya ke meja makan. Di situ ada sebuah bingkisan terbungkus kertas kado berhias pita.

"Ini untuk Ibu. Ibu yang sudah melahirkan aku, pantas mendapatkan hadiah ini!"

"Apa ini, Des?" Ibunya meraba bingkisan itu dengan tangan gemetar.

"Buka saja!"

Tangan ibu masih gemetar ketika merobek kertas kado itu. Sesekali terhenti karena lengannya menyeka pelupuk matanya yang membasah.

Kado itu berupa gambar berpigura. Sebuah gambar pensil goresan tangan Desi, memperlihatkan seorang ibu yang tengah menyusui bayinya. Di bagian bawahnya tertulis kutipan nyanyian pemazmur tadi.

"Des!" Ibunya memeluknya erat-erat. Mengecup dahinya, pipinya, memeluknya lagi. Ibu dan anak itu bersama-sama tersedu-sedu.

***

Sore itu Desi pergi ke rumah Fika dengan hati riang. Bibirnya tersenyum dan matanya berbinar. Seperti kado kejutan untuk ibunya, ia juga membuat gambar untuk kado ulang tahun temannya itu.

Desi merasa bahwa pesta ulang tahun Fika ini adalah pesta ulang tahunnya juga! ***

Comments

Popular posts from this blog

7 Humor Natal yang Bikin Terpingkal-pingkal

Edisi Koleksi Terbatas 50 Tahun Majalah Bobo Cerpen & Dongeng: Benarkah “Terbaik Sepanjang Masa”?

Setengah Hari di Rumah Atsiri