Menelan Rumah Janda-Janda
Ketika membahas perikop tentang persembahan seorang janda miskin (Markus 12:41-44; Lukas 21:1-4), kebanyakan pengkhotbah akan menyoroti heroisme janda tersebut--saya pun bertahun-tahun mengamini pesan ini. Mereka akan menekankan besarnya pengurbanan janda itu yang, meskipun kekurangan, tetap memberikan persembahan untuk rumah Tuhan. Lalu, sikap janda itu dijadikan motivasi untuk mendorong orang memberikan persembahan. "Janda yang miskin saja memberikan persembahan, masakan kamu yang tidak miskin-miskin amat tidak mau memberi?"
Ada orang yang berutang bertanya, "Apakah saya harus membayarkan persepuluhan dari utang itu?" Ia dinasihati, "Ya, tetap prioritaskan persepuluhan. Itu yang pertama kali harus kamu lakukan. Melangkahlah dengan iman. Lihatlah bagaimana Tuhan akan membukakan tingkap-tingkap langit bagimu."
Kisah janda itu dijadikan cambuk untuk membangkitkan rasa bersalah kalau kita tidak mampu memberi. Padahal, jika pemberian janda itu dijadikan standar, siapa coba yang sanggup memenuhinya? Bahkan John Wesley dan Rick Warren pun tidak mampu. Betapa tidak! Janda itu memberikan "semua yang ada padanya, yaitu seluruh nafkahnya"!
Jika dicermati, komentar Yesus secara tersirat mengandung pujian dan penghargaan: bahwa dalam kekurangannya, janda itu tetap memberikan persembahannya; bahwa pemberiannya justru lebih besar dari pemberian orang-orang lain. Ya, secara tersirat saja. Yesus tidak memberikan pujian terang-terangan tentang besarnya iman atau kemurahan hati janda itu. Yesus tidak menyatakan bahwa karena perbuatannya itu sang janda akan diberkati. Tidak ada tambahan seperti itu. Kenapa? Karena tampaknya tujuan komentar Yesus memang bukan di situ. Dia tidak hendak menjadikan si janda miskin sebagai sesosok pahlawan, sebaliknya: Dia menggunakan janda itu sebagai contoh sesosok korban dari sebuah sistem keagamaan yang bobrok.
Korban? Korban sistem keagamaan yang bobrok? Dari mana bisa muncul kesimpulan itu?
Kita akan mendapatkan perspektif yang berbeda jika menempatkan kisah janda itu dalam konteksnya. Kita bukan hanya mencomot komentar Yesus itu dan menjadikannya suatu pernyataan yang berdiri sendiri, melainkan menyimak pula latar belakangnya. Untuk itu, kita cukup mundur satu perikop (Markus 12:38-40; Lukas 20:45-47). Kedua perikop itu merupakan satu rangkaian kisah yang bertautan erat. Kita akan mendapati bahwa konteksnya adalah hardikan keras Yesus terhadap praktik keagamaan bobrok yang dijalankan para ahli Taurat. "Hati-hatilah terhadap ahli-ahli Taurat yang suka berjalan-jalan memakai jubah panjang dan suka menerima penghormatan di pasar, yang suka duduk di tempat terdepan di rumah ibadat dan di tempat terhormat dalam perjamuan, yang menelan rumah janda-janda, sedang mereka mengelabui mata orang dengan doa yang panjang-panjang. Mereka ini pasti akan menerima hukuman yang lebih berat." Kuping siapa coba yang tidak akan merah pedas jika dihardik seperti ini?
Dalam konteks ini, komentar Yesus terhadap persembahan janda tadi berfungsi sebagai ilustrasi. "Ini lho contohnya, akibat dari sistem bobrok yang kamu bangun itu." Dalam hukum Taurat, orang miskin tidak diwajibkan membayar persepuluhan, malah menerima bagian dari persepuluhan itu, misalnya Ulangan 26:12. Namun, para ahli Taurat telah memilintir hukum Taurat sedemikian rupa sehingga seorang janda miskin pun tidak terluput dari kewajiban memberikan persembahan. Alih-alih disantuni dan diberdayakan, orang miskin justru diekspolitasi. "Kamu menelan rumah janda-janda. Kamu menjadikan orang miskin semakin melarat dan semakin kesrakat. Kamu menjadikan orang miskin menjadi lebih miskin dari miskin. Inilah contohnya!" Nada utama Yesus, dengan demikian, bukanlah pujian, melainkan belas kasihan dan keprihatinan. Betapa malangnya engkau, Ibu janda, sudah jatuh tertimpa tangga pula.
Jika yang menjalankan sistem semacam itu adalah pemerintahan sipil yang kapitalistik, ya kita maklum saja. Jika pemerintah suatu negara hanya menaikkan UMR 10 persen, tetapi membiarkan harga sembako dan rumah dan biaya pendidikan dan ongkos kesehatan meroket bebas puluhan persen serta mencabut aneka subsidi untuk rakyat, ya memang sudah begitu wataknya.
Tetapi, kalau lembaga keagamaan, dalam hal ini Gereja yang adalah Tubuh Kristus, menerapkan pula sistem semacam itu, sungguh menjijikkan. Gereja diundang untuk menghidupi budaya tandingan. "Kamu tahu, bahwa pemerintah-pemerintah bangsa-bangsa memerintah rakyatnya dengan tangan besi dan pembesar-pembesar menjalankan kuasanya dengan keras atas mereka. Tidaklah demikian di antara kamu. Barangsiapa ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu, dan barangsiapa ingin menjadi terkemuka di antara kamu, hendaklah ia menjadi hambamu; sama seperti Anak Manusia datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang" (Matius 20:25-28).
Jika kita cenderung lebih menyoroti kedermawanan sang janda, kita secara tidak langsung malah mengikuti dan melanggengkan sistem bobrok yang dibangun para ahli Taurat. Jika seseorang tetap memberikan persembahan sekalipun sedang kekurangan, dan ia melakukannya dalam iman dan secara sukarela, alangkah eloknya. Namun, jika ia melakukannya karena berada dalam sistem keagamaan yang manipulatif, alangkah malangnya dia! Untuk itu, kita perlu lebih menyoroti dan bersikap kritis terhadap sistem keagamaan yang lancung itu.
Bagaimana kita menjalankan gereja, khususnya dalam hal keuangan? Berapa besar dana yang kita gelontorkan untuk membangun gedung megah atau membikin KKR spektakuler? Berapa banyak dana yang kita cipratkan untuk menyantuni dan memberdayakan warga miskin baik di dalam maupun di luar gereja? Apakah orang miskin di antara kita justru berkurban lebih besar daripada orang-orang kaya?
Hah? Bagaimana bisa orang miskin justru berkurban lebih besar daripada orang-orang kaya? Coba simak skenario ini. Keluarga A beranggota 4 orang berpenghasilan 2 juta per bulan di Yogya. Keluarga B juga di Yogya dan beranggota 4 orang, tetapi berpenghasilan 12 juta. Kedua keluarga sama-sama memberikan persepuluhan. Secara persentase, pemberian mereka setara. Namun, dalam konteks kesejahteraan hidup, keluarga A berkurban relatif lebih besar daripada keluarga B. Bukankah begitu?
Dan, gedung mewah yang kita bangun, apakah itu untuk merengkuh semua warga, atau sebenarnya secara tersirat justru memasang papan di gerbangnya: "Orang miskin dilarang masuk"? Ataukah kita sungguh-sungguh mengamini bahwa "Ibadah yang murni dan yang tak bercacat di hadapan Allah, Bapa kita, ialah mengunjungi yatim piatu dan janda-janda dalam kesusahan mereka" (Yakobus 1:27)?
Jika sebuah sistem keagamaan tidak menyantuni, tetapi malah mengeksploitasi warga miskin, jelas ada yang bobrok di situ. Sangat, sangat bobrok. Sistem semacam itu mesti kita bongkar.
Comments
Post a Comment