Seperti Bukan Teenlit



Bila Anda menyukai Children of Heaven, film Iran besutan sutradara Majid Majidi, kemungkinan besar Anda akan menyukai Warrior. Bila Children of Heaven berkisah tentang lomba lari, maka Warrior berkisah tentang lomba gerak jalan. Dua-duanya tertutur bersahaja. Dua-duanya tentang sepatu usang layak buang. Dua-duanya beralur cerita sederhana. Keluarga yang terkisah di dalam keduanya adalah keluarga yang tampak biasa menderita, seperti yang tertampil pula dalam sinetron Keluarga Cemara karya Arswendo Atmowiloto.

Sri Suryani, anak seorang janda yang bekerja sebagai pembuat lopis dan pekerja serabutan, suatu ketika gembira sekaligus sedih ketika namanya tersebut sebagai salah satu peserta lomba gerak jalan di SMP Negeri Ngadirejo. Gembira karena terpilih, sedih karena sepatunya yang bermerek Bibos kini sudah berlubang: menampakkan ujung jari kelingkingnya. Kesedihan ini membuatnya memikirkan beberapa alternatif untuk mencari sepatu baru merek Warrior yang ngetren waktu itu: menabung, meminta ibu (yang dipanggilnya "simbok"), atau meminjam teman.

Ketiganya tidak mungkin. Alternatif pertama dan kedua jelas karena alasan ekonomi. Yang ketiga? Suatu ketika simboknya pernah meminjam kain milik tetangga, yang kemudian terbakar seterika. Kepada tetangga itu simbok berjanji mau mengganti, namun si tetangga menyatakan itu kain dari Jakarta. Menggantinya sampai harus membeli di Jakarta? Mana mampu simbok. Malu dia bila meminjam.

Di luar tiga alternatif itu, tak terduga, Sri justru mendapat pekerjaan! Ibu Lisa, sahabat Sri, terkesan dengan kemampuan Sri membuat kue. Ya, bakat turunan! Celengan ayam Sri pun makin banyak terisi recehan. Namun, tabungan dari hasil keringatnya itu, suatu ketika harus ia lepaskan. Seorang sahabatnya yang lain, bernama Jono, harus dioperasi dan membutuhkan biaya yang besar.

Warrior adalah sebuah kisah yang sarat pelajaran moral. Tanpa menggurui, penulisnya hendak menunjukkan apa arti persahabatan, pengorbanan dan ketabahan dalam menjalani derita hidup yang dialami seorang remaja putri. Penulis tampak amat lihai menampilkan isi dan pergulatan benak Sri lewat diksi yang dipilihnya dalam kalimat demi kalimat. Sebuah contoh, ketika Sri bimbang memikir-mikir alternatif apa yang harus dia utamakan, dia mengeluarkan celengan dari lemari pakaiannya. Dinyatakan di sana bahwa "… ia tak punya ide bagaimana bisa mendapatkan uang ekstra untuk mengisi perut ayam rakus itu agar bisa sarat." Kalimat yang amat bernas, bukan?

Selain diksi yang berbobot, penulis menunjukkan bahwa dirinya amat dekat dengan berbagai khasanah literatur dan bahkan sejarah. Namun sayang, literatur, fakta sejarah (atau hasil riset) dan wacana yang tertampil di dalam buku ini rasanya terlalu melelahkan untuk disimak. Mereka terkesan dipaksakan untuk ada dan dikait-kaitkan dengan jalan cerita.

Sebutlah literatur, wacana, atau fakta-fakta tentang Adam Malik, Judith Resnik dan Discovery-nya, Karl May lewat Old Shatterhand-nya, serial Little House on the Praire, artikel reflektif tentang wayang mbeling berjudul Bima Melacak Tirtapawitra, mendaratnya VOC di Indonesia, Reformasi Protestan, semuanya tercampur aduk dalam kisah Sri ini. Memang, sisi baiknya adalah pembaca mendapat aneka pengetahuan yang mungkin saja bagi mereka merupakan hal baru. Tapi, perlu diingat, ini kan cerita fiksi.

Bolehlah cerita-cerita legenda seperti Buto Ijo dan Timun Emas, Pangeran Singonegoro dan Ki Lurah, Ande-Ande Lumut, Kleting Kuning dan Cindelaras ikut nebeng, sebagai upaya mulia penulis untuk mengingatkan kembali keberadaan mereka dalam literatur kuno Indonesia; sekaligus menarik relevansi dan implikasi kisah-kisah tersebut dalam diri dan kehidupan Sri. Namun, fakta-literatur-wacana tadi? Rasanya kok kurang signifikan dalam perannya menunjang keutuhan cerita. Pembaca dapat bosan dengan semua penjejalan itu.

Bagian yang mungkin bisa menggantikan jejeran fakta-literatur-wacana tadi adalah eksplorasi atas hubungan antar-tokoh dalam cerita. Dalam bagian awal cerita ini, disebut bahwa ini semua merupakan "sekelumit kenangan tentang Ngadirejo, Temanggung dan tahun 1980-an". Walaupun di halaman hak cipta disebutkan bahwa kisah ini fiktif, tapi "sekelumit kenangan" itu rasanya akan lebih pas bila lebih banyak terawarnai dengan dinamika hubungan antar-tokoh. Bukankah yang biasanya menjadi penghias utama sebuah kenangan adalah jatuh-bangun-pasang-surut hubungan kita dengan orang lain, dan bukan deretan fakta-literatur-wacana yang berbaris tadi?

Terlepas dari kekurangperluan yang terjabar di atas, sisi lain yang bisa dijadikan catatan bagi penulisan fiksi, khususnya teenlit adalah keseriusan penulis dalam menyampaikan cerita. Penulis tampak sangat rapi menjalin kisah. Seorang penulis teenlit di halaman sampul menyatakan bahwa Warrior seperti classic teenlit. Lebih jauh, bila kita memperhatikan teenlit yang ada pada saat ini, rasanya Warrior seperti bukan teenlit karena teenlit Indonesia pada umumnya berisi kisah cinta monyet, dialog lu-gue, dengan latar gaya hidup serba hedonis nan metropolis. Warrior beda. Warrior, tanpa bermaksud mencela: lebih ndeso. Sangat ndeso malah. Sangat ndeso, namun tergarap sangat liris. Itulah yang terpenting untuk diperhatikan. Arie Saptaji adalah penulis yang melihat dengan jeli dan menggerapai dalam-dalam: sebuah kehidupan yang hendak ditampilkannya. Ia juga memaknai geliat jiwa tokohnya, utamanya Sri, dengan lebih peka. Novel ini amat jauh dari kesan terburu-buru dalam penggarapannya.

Tak selamanya hanya kehidupan perkotaan yang diangkat dalam teenlit atau sinetron menjadi inspirasi bagi para remaja. Buktinya, orang kini juga menyukai Laskar Pelangi-nya Andrea Hirata (yang konon, di blog Warrior, juga dipakai sebagai salah satu acuan dalam merekonstruksi cerita) yang diangkat dari pedalaman Bangka Belitong puluhan tahun silam. Dengan demikian, langkah Gramedia sangat baik dan patut dipuji dalam menghadirkan teenlit yang berbeda ini dalam kategori teenlit. Semoga, target pembacanya, yaitu kaum muda, lewat teenlit ndeso ini dapat menangkap pesan penting yang berharga dan berguna.***

~Sidik Nugroho

* Ulasan ini berdasarkan Warrior: Sepatu untuk Sahabat (GPU, 2007). Novel ini diterbitkan ulang oleh Pustaka Patria (2020) bersama dengan dua novel lain dalam Trilogi Temanggung, yaitu Dalam Rinai Hujan dan Temanggung, Yogyakarta.

Comments

Popular posts from this blog

7 Humor Natal yang Bikin Terpingkal-pingkal

Edisi Koleksi Terbatas 50 Tahun Majalah Bobo Cerpen & Dongeng: Benarkah “Terbaik Sepanjang Masa”?

Setengah Hari di Rumah Atsiri