Temanggung, Yogyakarta: Novel Ini Membongkar Sistem Kepemimpinan yang Bobrok di Gereja Kharismatik


Diwawancarai oleh Mikael Rinto, Arie Saptaji membeberkan proses kreatif penulisan Temanggung, Yogyakarta, novel ketiga dalam Trilogi Temanggung.

Apa tantangan utama penulisan Temanggung, Yogyakarta?

Novel ini berlatar kehidupan dan pelayanan di sebuah gereja kharismatik. Nah, gereja kharismatik, terutama pada awal kemunculan di Indonesia, dianggap aneh, dan bahkan sesat, oleh gereja mainstream. Orang Kristen saja menganggapnya aneh, bagaimana dengan orang yang bukan Kristen?

Jadi, tantangannya adalah bagaimana membuat novel ini dapat dipahami dan dicerna oleh kalangan pembaca yang luas. Saya menggunakan cukup banyak halaman untuk memaparkan praktik dan sistem kepemimpinan di gereja kharismatik.

Bagi teman-teman pembaca yang pernah terlibat dalam gereja kharismatik, saya membayangkan bagian ini dapat membuat mereka mengalami deja vu, senyum-senyum, nyengir, bernostalgia.

Bagi teman-teman pembaca yang belum pernah terlibat dalam gereja kharismatik, dan bagi teman-teman pembaca yang bukan beragama Kristen, saya berharap bagian ini dapat menjadi perkenalan yang memikat tentang keunikan dan kekhasan gaya hidup gereja kharismatik.

Pengalaman yang tertuang dalam novel ini mungkin asing bagi kebanyakan pembaca, tetapi semoga membukakan wawasan baru.

 

Apa ide dasar penulis novel ini?

Konflik dalam fiksi bisa berlangsung antara individu versus individu, individu versus alam, individu versus kelompok, dan sebaganya. Melalui Temanggung, Yogyakarta, saya hendak menggambarkan konflik antara Baskoro dan Gereja. Mungkin memang agak ganjil membayangkan Gereja sebagai tokoh, tetapi yang dimaksudkan Gereja di sini adalah tim kepemimpinannya. Jadi, ini adalah konflik Individu versus Kelompok.

Singkatnya, ini kisah perjalanan Baskoro terpikat oleh sebuah gereja kharismatik, terlibat di dalamnya, lalu tersadar, dan kemudian meninggalkan gereja yang ternyata mirip cult itu. Kisah perjuangan individu melawan dosa sistemik.

Agama umumnya ditempatkan sebagai jawaban dan solusi masalah; novel ini menempatkannya sebagai sumber masalah—tentu saja, ketika ajarannya diselewengkan dan disalahgunakan (dosa sistemik).

 

Masa kecil dan masa remaja Baskoro hanya disinggung sebentar. Apa kaitannya dengan ide dasar tentang konflik gerejawi tersebut?

“Dosa Masa Kecil”—membahas sedikit kenangan masa kecil, kejadian relatif penting yang mudah-mudahan menjelaskan latar belakang kecenderungan Baskoro untuk tertarik pada perkara kerohanian.

 “Mimpi Basah Masa Remaja”—ini mewakili sebuah krisis kecil dalam hidup Baskoro: ketertarikan terhadap dunia politik yang layu sebelum bergembang. Lilis adalah wakil daya pikat politik yang numpang lewat dan segera (di-)padam(-kan). Ketika menjadi mahasiwa, Baskoro sudah apolitis.

Kondisi ini mengacu pada pemberlakuan NKK/BKK pada masa Orba, yang memberangus kegiatan politik di kampus. Ada yang menyebutkan,  alternatif yang tersedia tinggal: olahraga, kesenian, kegiatan cinta alam, atau kerohanian. Nah, Baskoro, yang sebenarnya berjiwa seni, adalah contoh mahasiswa yang terhanyut ke dalam aktivitas kerohanian, dan dampak yang dialami olehnya.

 

Jadi, konflik utamanya baru mulai berlangsung setelah Baskoro bergereja dan aktif melayani?

Novel ini berusaha menggambarkan proses yang dialami Baskoro dari jatuh cinta mabuk kepayang pada Gereja (kepemimpinan), menganggapnya sebagai mutiara yang sangat berharga, serba mendukung apa pun kebijakan pemimpin, lalu mulai melihat borok-boroknya (dosa sistemik), mulai mempertanyakan sistem yang dijalankan, dan kemudian terungkap bahwa sistem itu layaknya sebutir kelereng yang rentan, sehingga akhirnya ia memutuskan untuk membuangnya (meninggalkannya).

Jangka waktu yang sangat panjang diperlukan untuk menggambarkan proses tersebut, sekaligus menggarisbawahi daya cengkeram sistem kepemimpinan itu bagi para penganutnya. Kalau baru 2-5 tahun, mungkin orang meninggalkan gereja karena alasan egois atau personal. Juga, orang yang baru 2-5 tahun bergabung biasanya belum masuk sampai ke tim kepemimpinan inti sehingga belum bisa melihat dan mengalami jeroan sistem kepemimpinan itu. Namun, orang yang sudah mengabdikan hidupnya selama 20 tahun lebih di sebuah gereja, lalu meninggalkannya, tentu menimbulkan tanda tanya besar: MENGAPA? Itulah yang dipaparkan dalam novel ini.

 

Apa relevansi ide ini bagi kehidupan gereja saat ini?

Kisah dalam novel ini memang berlangsung dalam sebuah komunita gereja yang kecil. Namun, saya merasa ide dan visi ini penting dan sangat relevan dengan situasi saat ini, baik dalam Kekristenan maupun rasanya dalam kehidupan berbangsa. Kalau saya tidak keliru mengamati, fenomena semacam ini bukan hanya terjadi di kalangan Kristen, tetapi juga di dalam agama-agama lain. Pemimpin menggunakan agama, nama Tuhan, ayat-ayat Kitab Suci, untuk memperdayakan umat, bukan memberdayakan mereka.

Beberapa waktu lalu Tirto menurunkan laporan khusus tentang sisi gelap teologi kemakmuran dan fenomena megachurch, yang merusak kehidupan umat. Gereja sangat bersemangat menelanjangi dosa-dosa pribadi, tetapi nyaris bungkam terhadap dosa-dosa sosial. Gereja kehilangan suara kenabiannya. Mana suara gereja tentang isu-isu HAM atau lingkungan hidup, misalnya?

Novel ini memperlihatkan dampak kepemimpinan yang otoriter itu secara khusus dalam empat bidang:

·       Doktrin atau ajaran. Umat diminta manggut-manggut, menerima begitu saja ajaran pemimpin tanpa sikap kritis. Budaya semacam ini menjadi lahan subur bagi berkembangnya cocokologi dan juga hoaks.

·       Kekudusan hidup, dalam hal ini contohnya kasus pasangan hidup atau jodoh. Gereja campur tangan terlalu jauh dalam kehidupan pribadi, sampai mengurusi siapa yang layak dinikahi.

·       Keuangan. Domba-domba yang selayaknya digembalakan, malah dieksploitasi.

·       Pola kepemimpinan yang tidak sehat. Pemimpin selalu benar, tidak boleh disanggah, tidak boleh berbeda pendapat. Kalau ada yang berani berbeda, kira-kira akan mengalami nasib serupa yang dialami oleh Baskoro.

Semoga bisa jadi bahan perenungan bersama tentang bagaimana seharusnya menjalankan kehidupan beragama secara sehat.

 

Kenapa Trilogi Temanggung? Keterkaitan Temanggung, Yogyakarta dengan dua novel terdahulu hanya sekilas. Bisa dijelaskan?

Selain kesamaan latar (Temanggung dan Yogyakarta), kali ini juga ada keterkaitan kisah. Mirip dengan film trilogi Three Colors (Kieslowski), dalam Red (film terakhir), tokoh dari kedua film terdahulu (Blue dan White), muncul sekilas di bagian ending. Di sini, Sri (Warrior) dan Siwi (Dalam Rinai Hujan), muncul dalam porsi yang cukup signifikan.

Perjumpaan dengan Sri—dan juga sekilas dengan Siwi—dihadirkan sebagai penanda bahwa Baskoro mulai menjadi manusia “normal” lagi. Ia mulai melepaskan diri dari ikatan dengan tim kepemimpinan, bukan perpanjangan sistem mereka, yang memperlakukan orang di luar jemaat sekadar sebagai obyek penginjilan, untuk dijangkau dan direkrut sebagai anggota jemaat (kalau tidak berhasil, ditinggalkan). Ia mulai belajar lagi memperlakukan orang lain sebagai sesama manusia.

 

Kenapa judulnya Temanggung, Yogyakarta?

Saya dapat inspirasi dari film Wim Wenders, Paris, Texas. Sebelum menonton filmnya, saya mengira kisahnya berlatar kota Paris di Eropa dan Texas di AS. Ternyata di Texas sana ada kota kecil bernama Paris. Nah, Temanggung, Yogyakarta saya bayangkan sebagai perjalanan tokoh kita dari Temanggung sampai Yogyakarta, (orang) Temanggung berjuang di Yogyakarta, (orang) Temanggung memandang Yogyakarta, dan seterusnya.

 
 

Novel ini terasa campur aduk: ada sisipan puisi, cerpen, esai, khotbah, email, dan sebagainya. Mengapa memilih format seperti itu?

Tokoh dalam novel ini bacaan utamanya Alkitab. Bacaan lain dianggap nomor sekian. Nah, saya tertarik menjajal format Alkitab tersebut dalam novel ini. Alkitab mengandung benar merah kisah penebusan agung, tetapi ditampilkan dalam mosaik kain perca berbagai genre tulisan—kisah, puisi, hukum, nubuatan, surat. Memuat kisah baik dan kisah buruk secara apa adanya. Saya merasa, menarik juga kalua model itu dipakai untuk menulis novel.

Bedanya, tentu saja, Alkitab ditulis oleh berbagai penulis dalam rentang waktu sekian milenium yang digerakkan oleh Satu Penulis Tak Terlihat (Roh Kudus); novel ini ditulis oleh satu penulis. Namun, seperti Alkitab juga, novel ini ditulis dari sudut pandang seorang pecundang, seorang buangan, seorang yang disingkirkan.

Hasil akhirnya memang tidak sepenuhnya mirip dengan struktur Alkitab, tetapi dapat dibandingkan dengan struktur Perjanjian Baru.

 
Bagian ziarah rohani ini menggambarkan proses perubahan yang dialami oleh Baskoro setelah meninggalkan gereja. Tahap-tahapnya secara kasar mengikuti The Five Stages of Grief/Loss. Karena menyangkut proses perubahan pikiran, yang melibatkan pertempuran dua aliran teologis (teologi kemakmuran versus teologi kasih karunia, sebut saja begitu), maka yang tampil pun lebih banyak pemikiran, bukan action. Dan, Baskoro seakan asyik ngomong sendiri, curcolhal ini untuk menggambarkan bagaimana Gereja menegakkan tembok, tidak bersedia membuka ruang untuk berdialog. ***

 
TRILOGI TEMANGGUNG diterbitkan oleh
Pustaka Patria: https://www.instagram.com/pustakapatria/

Dapat dipesan melalui
WA https://wa.me/6288216225472
Tokopedia: https://www.tokopedia.com/pustakapatria

Comments

Popular posts from this blog

7 Humor Natal yang Bikin Terpingkal-pingkal

Edisi Koleksi Terbatas 50 Tahun Majalah Bobo Cerpen & Dongeng: Benarkah “Terbaik Sepanjang Masa”?

Setengah Hari di Rumah Atsiri