Seandainya Kristus Tidak Naik ke Surga

John Singleton Copley (1775)


Kenaikan Yesus Kristus, sebuah hari raya yang kerap terlewatkan begitu saja. Padahal, Tuhan Yesus menganggap kenaikan-Nya sangat berguna bagi kita. Mengapa begitu?

Sejak abad IV, gereja merayakan Kenaikan Kristus secara terpisah pada Kamis ke-6 atau hari ke-40 setelah Paskah. Sebelumnya, Kenaikan termasuk dalam rangkaian perayaan Paskah yang berlangsung mulai dari Kebangkitan sampai Pentakosta. Kenaikan, menurut St. Agustinus, ”adalah perayaan yang meneguhkan kesemarakan seluruh perayaan Kristen lainnya. Tanpa Kenaikan Kristus, perayaan-perayaan lain itu akan kehilangan maknanya.”

Kenaikan menandai permulaan gereja dan penantian akan kedatangan Kristus yang kedua. Perayaan ini mendorong kita merenungkan Tritunggal. Kristus naik ke surga, duduk di sebelah kanan Allah Bapa, dan di sana menjadi Imam Besar kita, serta menjanjikan pencurahan Roh Kudus bagi gereja-Nya. Paulus mengatakan, Kristus naik ke surga ”untuk memenuhkan segala sesuatu” (Efesus 4:10). 

Beberapa negara memperlakukan perayaan ini secara berbeda. Di Jerman, misalnya, hari ini merupakan libur resmi sekolah. Mereka menyebutnya perayaan Christi Himmelfahrt (perjalanan Kristus menuju surga). Sebaliknya, dalam budaya Amerika Utara, meskipun di sana banyak penganut Kekristenan, minggu ini biasanya akan berlalu begitu saja tanpa ada pembicaraan tentang peristiwa Kenaikan, khususnya di antara kaum Prostestan.

Di Indonesia, meskipun Kenaikan Kristus termasuk hari besar keagamaan yang dijadikan hari libur nasional, kondisinya pun hampir sama: kita jarang merayakannya. Seumur hidup, baru satu kali saya merayakannya di gereja. Itu pun dengan kegiatan yang generik: pentas seni, cerdas cermat Alkitab, dan pertandingan olah raga.

Bagaimanapun, kenaikan Kristus merupakan salah satu unsur utama dalam tradisi Kristen. Peristiwa ini disebut-sebut dalam dua kredo klasik. Pengakuan Iman Rasuli dan Pengakuan Iman Nicea meneguhkan bahwa Yesus ”naik ke surga.”

Yesus sendiri menggarisbawahi pentingnya Dia naik ke surga. Pada perjamuan malam menjelang penyaliban, Yesus berkata, ”Adalah lebih berguna bagi kamu, jika Aku pergi. Sebab jikalau Aku tidak pergi, Penghibur itu tidak akan datang kepadamu, tetapi jikalau Aku pergi, Aku akan mengutus Dia kepadamu” (Yohanes 16:7).

Kalau begitu, apa manfaat kenaikan Kristus?

Pertanggungjawaban Pribadi

Salah satu manfaat kenaikan-Nya berkaitan dengan hubungan kita satu sama lain.  Coba bayangkan kalau Yesus tidak juga pergi dan tetap berada di tengah para murid.

Mereka menganggap kedekatan dengan Tuhan sebagai sumber persaingan di antara mereka: siapa yang terbesar, siapa yang akan duduk di sebelah kanan-Nya. Bisa jadi para murid justru akan saling menjegal demi memperebutkan kedudukan tersebut. 

Philip Yancey, dalam Bukan Yesus yang Saya Kenal, membuat sebuah pengandaian menarik. Seandainya Yesus tetap tinggal di muka bumi, akan lebih mudah bagi kita untuk menghadapi berbagai pertanyaan dan keraguan – kita tinggal mendatangi Sang Sumber Jawaban. Perpecahan gereja dan penyesatan juga tidak perlu terjadi karena Yesus akan selalu siap menjadi penengah, menawarkan nasihat dan kearifan.

Namun, bukankah itu juga berarti kerepotan? Bagaimanapun, Yesus hadir di Palestina sebagai satu orang manusia saja. Berarti, kita harus berziarah ke Yerusalem dan antre satu per satu untuk menemui-Nya.

Barangkali Yesus melihat kerepotan itu. Dia memilih untuk pergi. Dia memilih untuk disalibkan. Dan setelah kenaikan-Nya, Dia mengutus Roh Kudus untuk menyertai kita dan diam di dalam diri kita.

Dengan demikian, kedekatan kita dengan Tuhan ditentukan oleh keputusan kita masing-masing. Tidak ada seorang pun yang bisa menjegal kita. Barangsiapa mendekat kepada Tuhan, Tuhan akan mendekat kepadanya. Barangsiapa bertekun mencari Dia, Tuhan akan berkenan ditemukan. Barangsiapa memberi diri untuk dipimpin oleh Roh, ialah anak Allah.

Iman, dalam satu sisi, menjadi persoalan pribadi antara kita dan Tuhan. Iman menjadi sebuah pertanggungjawaban pribadi.

Iman di dalam Komunitas

Di sisi lain, iman Kristen secara khas perlu diekspresikan di tengah suatu komunitas. Iman Kristen tidak melahirkan pertapa yang mungkin membangun kerohaniannya secara mandiri, terpisah dari dunia ramai. Iman Kristen, sebaliknya, disiapkan untuk sebuah komunitas.

Penghayatan iman kita kepada Allah yang tidak kelihatan justru nyata dalam hubungan kita dengan sesama manusia yang kelihatan. Tuhan secara tegas menghendaki kita mengekspresikan kasih kita kepada-Nya dengan mengasihi saudara-saudara kita yang kelihatan (1 Yohanes 4:20). Chip Ingram, dalam Mukjizat Perubahan Hidup, menggarisbawahi hal ini dengan menyatakan, ”Alkitab mengajarkan bahwa Allah mendatangkan perubahan hidup melalui Firman-Nya dan Roh-Nya di dalam konteks hubungan yang penuh dengan pengorbanan dan berpusat pada orang lain.”

Perjanjian Baru penuh dengan perintah timbal-balik, seperti saling mengasihi, saling membantu, saling menghibur, saling mendukung, dan seterusnya. Pertanyaannya: mungkinkah kita mematuhi perintah semacam itu seorang diri? Mustahil, bukan? Perintah-perintah itu mengimplikasikan keterlibatan orang lain. Perintah-perintah itu menyiratkan kehadiran suatu komunitas sebagai wadah untuk menerapkannya.

Komunitas itu tidak lain adalah ekklesia ’gereja’, yaitu ”kumpulan orang-orang yang dipanggil keluar” dari kegelapan ke dalam terang-Nya. Dan gereja disebut juga sebagai tubuh Kristus. Hal ini berkaitan erat dengan kenaikan Kristus.

Gereja disebut sebagai tubuh Kristus karena gerejalah perpanjangan karya Kristus setelah Dia naik ke surga. Setelah menunaikan penebusan-Nya, sebagai ganti diri-Nya, Tuhan Yesus mengutus Roh Kudus untuk menyertai kita dan tinggal di dalam diri kita. Pencurahan Roh Kudus inilah yang melahirkan gereja. Dalam kata-kata Gerard Manley Hopkins, ”Kristus sendiri hanyalah satu, dan hidup serta mati hanya satu kali; tetapi Roh Kudus membuat setiap orang Kristen menjadi Kristus yang lain, seorang pasca-Kristus; hidup dalam jutaan kehidupan di setiap zaman.”

Dengan kata lain, setelah Kristus kembali ke surga, melalui gerejalah Allah menyentuh, menyembuhkan, dan mengulurkan anugerah kepada dunia. Apa yang berlangsung di tengah komunitas gereja akan menentukan bagaimana dunia ini memandang Allah. Yesus mengatakan, ”Aku memberikan perintah baru kepada kamu, yaitu supaya kamu saling mengasihi; sama seperti Aku telah mengasihi kamu demikian pula kamu harus saling mengasihi. Dengan demikian, semua orang akan tahu, bahwa kamu adalah murid-murid-Ku, yaitu jikalau kamu saling mengasihi” (Yohanes 13:34-35). Kasih dan persekutuan di antara kita menjadi kesaksian yang kuat dan tak terbantahkan bagi dunia; dan sebaliknya pula, kedengkian dan perpecahan di antara kita tak ayal akan membuat dunia mencibir.

Kenaikan, dengan demikian, adalah sebuah kepercayaan, sebuah pendelegasian yang mencengangkan. ”Ketika Yesus pergi,” tulis Philip Yancey, ”Dia meninggalkan kunci Kerajaan di tangan kita yang kikuk.” Ya, kepada kita yang kikuk ini, Dia mempercayakan suatu amanat untuk menyebarkan Kabar Baik dan berita pendamaian-Nya ke seluruh bumi. ***

Comments

Popular posts from this blog

7 Humor Natal yang Bikin Terpingkal-pingkal

Edisi Koleksi Terbatas 50 Tahun Majalah Bobo Cerpen & Dongeng: Benarkah “Terbaik Sepanjang Masa”?

Setengah Hari di Rumah Atsiri