Mbak Nunuk dan Saya

Mbak Nunuk (paling kiri) sakbrayat menengok saya setelah saya menjalani operasi usus buntu (26/07/2015).


Mengenang Noeke Triyana Yudhiwati (12 Desember 1957 - 19 September 2019)

Noeke Triyana Yudhiwati. Begitu nama lengkap kakak nomor dua saya ini. Kami adik-adik biasa memanggilnya Mbak Nuk atau Mbak Nunuk. Namun, teman-teman sekolah, dan nantinya teman-teman kerja, memanggilnya Nuke. Ini mirip dengan nasib kakak nomor empat. Nama lengkapnya Budi Nurjaya Bimantara. Panggilan di rumah Bin. Teman-teman di luar memanggilnya Budi. Pernah ada temannya datang ke rumah dan menemui Ibu, mengatakan hendak mencari Budi. Ibu mengerutkan kening dan perlu waktu beberapa lama untuk sadar bahwa ada anaknya yang bernama Budi. Entah bagaimana Bapak mendapatkan wangsit untuk memberi nama ketujuh anaknya secara panjang, sastrawi, dan membingungkan sehingga memungkinkan punya lebih dari satu nama panggilan. Saya sendiri paling sering dipanggil Ar atau Arie. Beberapa guru menyebut saya Aji dan teman-teman juga meledek saya sebagai Sangaji, tokoh pintar dalam film seri lokal di TVRI. Saat SMA, saya mendapatkan julukan Sapodil, gabungan dari Saptaji dan Del Takodel, lagu Sersan Prambors yang beken kala itu, yang ternyata nyomot dari lagu India. Kadang-kadang saya iseng memperkenalkan diri sebagai Wahyu atau Widodo. Punya nama sepanjang Argo Bromo masak cuma dipakai bagian depannya.

Mbak Nuk, yang berkulit putih dan sering dikira putri Cina, menjadi perawat dan menikah dengan Tatang Moestajab, asal Jepara. Saat mereka menikah, saya masih kelas 5 SD. Yang saya tahu, rumah jadi ramai selama beberapa hari, banyak orang, dan banyak makanan enak. Saya pakai baju bagus, tetapi sesudah pengantin temon, saya menyelinap ke rumah tetangga, menonton film Minggu siang, Land of the Giants. Film rampung, para tamu sudah mulai bubar, dan saya ikut berfoto dengan pengantin bersama para sinoman.

Mereka pasangan yang serasi, sama-sama ulet dalam pekerjaan masing-masing. Sampai pensiun, Mbak Nunuk perawat di ruang operasi RSUD Temanggung. Mas Moes menjajal berbagai hal: mahir memperbaiki perangkat elektronik, berlatih karate sampai menjadi senpai andal, membuka studio musik, mengembangkan persewaan tata suara (pernah dipakai saat Presiden SBY membuka Soropadan Agro Expo 2007), dan juga menekuni pengobatan alternatif.

Saat sekolah di SMAN 3 Temanggung, saya ikut Mbak Nunuk dan Mas Moes, yang saat itu tinggal di Perumahan Paramedis di atas RSUD. Mereka sudah dikaruniai seorang putri, Dian Otria Waisal Aprilia, yang lahir pas Jumat Agung atau hari wafat Isa Almasih. Bulannya gampang ditebak. Baru ketika saya mulai kuliah di IKIP Karangmalang, Lia punya adik cowok, Dyon Otria Sapta Wakuana, kali ini lahir pas wafatnya Sri Sultan Hamengkubuwana IX.

Tinggal bareng Mbak Nunuk membuat saya makan enak setiap hari. Soalnya, setelah Ibu, yang meninggal saat saya kelas 2 SMP, Mbak Nunuk adalah juara memasak dalam keluarga kami. Oseng buncis udang pun jadi mantap di tangannya. Sambal ebinya tiada tara. Masakannya tidak pernah terlalu pedas atau terlalu asin, tetapi serbapas, lembut, dan sedap.

Pernah suatu sore saya diminta merendam dandang penanak nasi. Saya isi penuh dengan air sampai melewati saringan yang ada di bagian tengah. Tugas tuntas, pikir saya.

Ketika Mbak Nuk pulang kerja, dia menanyakan nasi tim yang sudah disiapkannya, kok tidak ada di meja. Saya terlongong.

"Kamu sudah merendam dandangnya?"

"Sudah."

Mbak Nuk menengok dandang itu. Ia mengangkat saringannya. Di bawah saringan itulah, ada serantang nasi tim. Ikut terendam air.

Pulang sekolah, saya suka keluyuran di sawah dan sungai di sebelah perumahan. Suatu siang kaki saya tertusuk duri. Kecil saja, tapi menyusup ke dalam kulit telapak kaki. Saya pulang dengan terpincang-pincang. Saya membersihkan lukanya, tetapi gagal mengeluarkan duri kecil itu. Saya tahan nyerinya, yang akhirnya memang mereda meski sesekali masih terasa senut-senut. Saya tahan selama tiga hari, berharap si duri entah bagaimana keluar sendiri. Langkah saya kadang terpincang. Akhirnya, bukannya sembuh, luka itu makin bengkak dan bernanah.

Tak tahan lagi, barulah saya memberi tahu dan meminta pertolongan Mbak Nuk.

"Bocah ngawur kowe iki!" bentaknya. "Memala kok diopeni!"

Saya duduk di pingir tempat tidur. Kaki yang luka saya tumpangkan ke kaki sebelahnya sehingga lukanya menghadap ke atas. Mbak Nuk menyiapkan peralatan. Dengan kesigapan seorang juru rawat, ia memegang kuat telapak kaki saya. Saya deg-degan. Mbak Nuk membersihkan luka itu, lalu memencetnya kuat-kuat sampai nanahnya meleleh. Aaarrrgghhh! Lalu, dengan menggunakan pinset, ia mengorek luka itu untuk mengeluarkan si duri kecil. Aaaaaaarrrrggggghhhh! Sukses. Luka kembali dibersihkan, diolesi obat, dibebat. Selesai. Saya mandi keringat dingin.

Saat saya sudah berkeluarga, kesempatan untuk mudik ke Temanggung, mengunjungi rumah mereka, dan kalau bisa menginap, selalu menyenangkan. Yang pasti, saya bisa melepaskan kangen dengan masakan enak Mbak Nuk. Rina dan anak-anak juga menyukai hidangan di rumahnya. Kalaupun Mbak Nuk sedang repot dan tidak sempat memasak sendiri, mereka akan mencarikan masakan jadi terpilih dari rumah makan setempat.

Lia, yang sudah menikah dengan Profitoh Age dan dikaruniai dua anak laki-laki, Arasy dan Hamizan, tinggal bersama mereka. Tak perlu ditanya lagi, kedua cucu itu sangat doyan masakan Eyang Uti mereka.

Selebihnya, Mbak Nuk adalah kakak yang gemati, pendengar yang baik, dan teman curhat yang menyenangkan. Nada bicaranya tegas dan cepat, tetapi tak kehilangan keramahan. Ia tak segan menceritakan kerentanannya sendiri. Ngobrol dengannya, kami tidak merasa digurui, tetapi didampingi. 

Mbak Nuk juga dermawan. Tiap mudik Lebaran, saat kami pamit, ia biasanya sudah menyiapkan dua ikat uang kertas yang masih kinyis-kinyis, satu untuk Lesra dan satu lagi untuk Tirza.

***

April 2017. Saat itu Mbak Nunuk sudah pensiun. Kami menerima kabar sedih. Ada benjolan tumor di payudaranya, dan ia mesti menjalani operasi untuk memeriksa keganasan tumor itu. Rina dan saya, disertai Oma, meluangkan waktu untuk menengoknya di RSUD Temanggung. Menguatkan hatinya.

Kami sempat beberapa kali mengunjunginya dan mendengar perkembangan kondisinya dari jauh. Ia menjalani serangkaian kemoterapi. Sesudahnya, ketika tubuhnya lumayan bugar, Mbak Nuk dan Mas Moes menjalankan ibadah umroh di Tanah Suci.

Ketika Oma meninggal pada akhir November 2018, Mbak Nuk sedang menjalani serangkaian terapi penyinaran. Namun, ia ikut melayat ke Yogya. Gantian menguatkan kami.

Seminggu sebelum Lebaran kemarin, kami diundang ke Temanggung. Mas Moes dan Mbak Nuk akan mengantar anak lelaki mereka, Dyon, meminang gadis Semarang pilihannya. Meskipun wajahnya yang cantik tampak agak pucat, Mbak Nuk terlihat penuh semangat. Pernikahan kedua sejoli rencananya akan dilangsungkan akhir Desember nanti. Dyon saat ini bekerja di Jakarta.

***

Rabu pukul 18.30 saya menerima pesan WA dari Mbak Nining, kakak nomor enam. "Mbak Nuk opname lagi. Ngedrop karena tidak mau maem."

Duh. Saya menyusun rencana dengan Rina. Kamis saya ada pelatihan di Muntilan. Jumat-Sabtu juga ada pelatihan di Salatiga. Minggu rasanya perlu rehat dulu. Kalau begitu, Senin pagi saja kami ke Temanggung. Insya Allah.

Rencana tinggal rencana. Kamis siang, 19 September 2019, setelah turun dari motor di parkiran GKI Muntilan, saya membuka WA. Ada pesan masuk dari Mbak Nining tertanda pukul 13.30.

"Pak Arie, Mbak Nuk seda."

Saya menelepon Rina dan mengatur rencana. Saya tidak langsung memberi tahu teman-teman di Muntilan, dan tetap menjalankan pelatihan. Saya berpikir, Mbak Nuk akan dimakamkan besok. Di tengah pelatihan, saya menyelinap ke luar untuk menghubungi pihak Salatiga, meminta penundaan acara di sana. Mereka mengucapkan belasungkawa dan setuju acara ditangguhkan.

Kemudian masuk pesan dari Mas Bin yang Mas Budi tadi. Saya diminta menunggu Dyon, yang akan mendarat di Yogya pukul 18.10. Euodia, anak sulung Mas Bin yang bekerja di Yogyakarta, juga akan ikut layat.

"Nanti bilang driver-nya kita perlu cepat," pesan Mas Bin.

"Dimakamkan malam ini juga? Menunggu Dyon?"

"Yoi."

Kalau pemakamannya nanti malam, berarti saya bisa balik lagi ke Yogya sesudahnya. Acara di Salatiga tak perlu dibatalkan. Saya mengatur ulang rencana dan menghubungi Tri Prasetyo, teman kami, memintanya mengantarkan kami dengan mobilnya.

***

Pukul 19.00 kami berlima--Dyon, Euodia, Rina, dan saya diantar oleh Tri--meninggalkan parkiran McD Jombor. Lesra dan Tirza tidak bisa ikut karena ada keperluan sekolah dan kampus. Evalia Putih gesit menembus lalu lintas yang tidak terlalu ramai. Dalam waktu sembilan puluh menit, kami sampai di rumah duka, yang dipenuhi para pelayat sampai ke ujung gang.

Mas Moes dan Lia sudah menunggu kami di depan jenazah. Kami menjadi orang-orang terakhir yang berkesempatan menyaksikan wajah Mbak Nunuk sebelum kain jenazahnya diikat. "Mbak Nunuk ayu."

Tidak lama kemudian upacara pelepasan dilaksanakan di depan rumah. Di tengah doa dan sambutan, banyak laki-laki--saudara, sahabat, tetangga--bergantian memanggul keranda. Mbak Nunuk lalu disemayamkan di surau perumahan untuk disalatkan. Ambulans sudah siap mengantarnya ke tempat peristirahatan terakhir, kira-kira satu kilometer di sebelah barat perumahan.

Malam dingin, tetapi udara cerah. Di atas liang lahat terpasang lampu LED entah berapa ratus watt sehingga terangnya mencapai jalan masuk kompleks makam. Upacara pemakamam dipimpin oleh seorang kyai yang mengenakan jaket hijau NU. Ia membacakan doa dalam bahasa Arab, yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa. Khidmat.

Sejak turun dari mobil hingga sepanjang proses pemakaman, satu atmosfer yang saya tangkap: Mas Moes dan Mbak Nunuk sakbrayat itu sungguh digemateni, dihormati dan dicintai oleh kerabat dan kenalan mereka. Memandang wajah-wajah orang yang melepaskan kepergian Mbak Nunuk, menyaksikan gerak-gerik mereka dalam mendukung dan turun tangan dalam rangkaian proses pemakaman, terlihat keikhlasan dan ketulusan: bahwa ini kesempatan terakhir untuk unjuk penghargaan pada seseorang yang mereka sayangi.

Sepanjang perjalanan mobil tadi, saya sempat bertukar pesan WA dengan Nuri, kawan seangkatan di SMPN Ngadirejo.

"Njenengan adike Mbak Nuke dan Mas Cuk? Lha aku kok kurang piknik, to Om, padahal akrab dengan Mbak Nuke dan Mbak Murtin."

Mas Cuk tidak lain kakak sulung saya, sedangkan Mbak Murtin, seorang bidan, adalah istrinya. Seperti Mbak Nunuk, Mbak Murtin juga bekerja di RSUD Temanggung, berarti mereka seniornya Nuri.

"Yakin aku ora ngira blas yen sampean adiknya Mbak Nuke. Aku 'kan pernah memakai rumah dinas yang dulu dipakai Mbak Murtin, selama enam tahun satu RT dengan Mbak Nuke, tetapi tidak pernah ketemu njenengan. Padahal, aku dan suamiku sering main ke sana."

"Nyong biasane mrana yen bada."

"Nyong nek bada nang Pekalongan 5-7 hari. Mbak Nuke pinter ngasto wedang serai atau jahe. Wangi sedep tenan. Pinter masak, bikin roti. Gemati kalau sama aku. Maklum sok dianggap cah cilik mbiyen pas dadi sak-RT."

Saya menduga, tidak sedikit kenalan Mbak Nunuk yang memiliki kesan serupa dengan kesan Nuri. Kebahagiaan apakah lagi yang kita cari selain mendapati bahwa kehidupan kita menjadi berkat dan mendatangkan kebaikan bagi sesama?

Malam itu malam duka. Namun, saya merasakan ada suatu ketenteraman yang merengkuh dan menenangkan. Saya meninggalkan kompleks makam dengan hati yang hangat.

Saya tahu, Mbak Nunuk berada di Tangan yang Baik. ***

Comments

Popular posts from this blog

7 Humor Natal yang Bikin Terpingkal-pingkal

Edisi Koleksi Terbatas 50 Tahun Majalah Bobo Cerpen & Dongeng: Benarkah “Terbaik Sepanjang Masa”?

Setengah Hari di Rumah Atsiri