Jantera Musim



nasi brongkos pojok alun-alun, sesederhana itu: menjaga kangen. kepasrahan
pada persimpangan jalan, memandangi nasib, mengalir dari siti hinggil
sampai panggung krapyak, sampai segara kidul. kelelakian, sebagai bagiannya,
adalah wacana untuk berjalan di atas kegelisahan lidah-lidah gelombang,
dan tak kulihat wajahmu. angin menghamburkan kartu nama, serpih-serpih daun
beringin, sobekan koran berita, bursa dan karcis kereta.
kelas dua: album-album yang gaduh–setiap kali ketakutan, carilah wajahku.
kelas satu: berpautlah, aku di perahumu, tak perlu lagi kau takut.
pada kiriman kartu pos ulang tahun tertulis: sepasang gajah jadi tontonan,
belalainya saling memagut.

kubaca kembali, seberangkat dari tugu, refreinmu yang lembut: 
"o, let me live in the glory of your grace"* 
tidak juga melenyap, di gereja itu, membekas di daun musim yang lunak.

sekaten belum lewat, udara masih dingin dan garing. bertuntunan di vredeburg
ditatapi grafis-grafis, lukisan, patung, jejak kaki, celoteh stiker, desain dan debu
yang belum diseka di kaca pajang. "mana lagu hari ini? kalau kauusir aku
dari kediaman, aku aman karena tak akan kutemukan tempat bermalam."
barangkali kaki lima, ketika embun mendekapnya, sebelum subuh menyaput
malioboro, mau menerima perumpamaan-perumpamaan dan perjalanan
yang dihayati dalam napasmu.

tinggal sunyi, seperti kabut kelabu pada punggung pegunungan yang jejer
mengepung kota ini. tanahnya dibelah sungai-sungai: mendekap kerlap kunang-kunang,
mendekap sarang-sarang burung tekukur, mendekap tetumbuhan dan pemakaman,
juga dolanan, kisah dan rahasia yang didongengkan hanya pada malam purnama
serta gending-gending. "kalau kaunyanyikan juga, musim akan mengekalkan
kini demi kini: satu hariku seribu tahunmu, seribu tahunku satu harimu."

lantas kupahat, dalam dinding doa, refrain-mu yang laras: 
"yes, I will run the race till I see your face"** 
terdengar bendera, di pendopo itu, berkelebat di tik-tok jam yang lambat.

menanti terang tanah: berhadapan dengan pilihan-pilihan, dan maksud yang ditentukan
sebelum sekon-sekon berhamburan. karena kesunyian, dari lakon purba pohon widya,
adalah tentakel-tentakel dan labirin yang membelit percakapan kita: menjadi sajak
yang diakhiri dengan berat. menunggu blencong padam, sebagai wayang, menunggu
bulan jadi surya, dan surya memancar tujuh ganda: dewa-dewi dan konstelasi bintang
melolong-lolong pada langit yang gemuruh dan tembaga.

* Dari lagu I Will Run to You oleh Darlene Zschech.
* Idem.

Comments

Popular posts from this blog

7 Humor Natal yang Bikin Terpingkal-pingkal

Edisi Koleksi Terbatas 50 Tahun Majalah Bobo Cerpen & Dongeng: Benarkah “Terbaik Sepanjang Masa”?

Setengah Hari di Rumah Atsiri