Mad Max: Fury Road: Kebrutalan dan Puisi
It's fast, very, very fast. It's furious--not just furious, it's Furiosa. And, it's glorious, violently glorious.
Is it mad? No. No. No. It's gilaaaaaaak!
Ingat adegan kejar-kejaran truk di babak kedua "Raiders of the Lost Ark"? Ini kejaran-kejaran semacam itu digeber selama dua jam--tanpa babak ketiga! Dengan kendaraan yang lebih canggih (untuk tidak mengatakan lebih edan), dengan lokasi yang kian lama kian menantang, dengan pertarungan nasib yang makin ke belakang makin ganas, dengan kamera yang berdansa, dengan tokoh yang membikin kita luluh.
Kendaraaannya. Aku bukan penggemar mobil. Tapi, melihat kendaraan-kendaraan futuristik di sini, aku ternganga-nganga, takjub dan sekaligus bungah. Kendaraan-kendaraan yang tampak menggeram menyeramkan, namun sekaligus terkesan dirancang dengan kegembiraan kanak-kanak. Ada mobil khusus untuk gitaris rock dan drummer yang meraung-raungkan musik perang!
Lokasinya. Awalnya baluwarti batu karang berwajah tengkorak dengan jeroan ala Temple of Doom. Tentu saja, lagi-lagi, versi futuristiknya. Bukan lagi tambang magis, melainkan ceruk mesin dan budak perang di bawah kekuasaan Immortan Joe. Lalu aksi menderu di padang gurun oranye-cokelat-kemerahan. Lalu belantara badai pasir--kalau gurun pasir menghampar horisontal, ini bergumpal-gumpal vertikal dengan badai berpusar di dalamnya. Lalu gurun kering kerontang lagi. Lalu celah gunung karang sempit penuh ancaman mengintai. Lalu gurun gersang lagi dan malam turun. Lalu rawa-rawa maut dan gerombolan burung gagak berkaok-kaok. Lalu pagi dan gurun tandus lagi. Lalu kekecewaan, harapan yang direnggut, dan padang garam sejauh 160 hari perjalanan.
Kisahnya. Pertarungan nasib demi memperoleh kembali sebuah firdaus untuk menyemai harapan akan kehidupan baru. Simbolnya bertebaran: darah (Kantong Darah! Oh, ini menjungkirbalikkan gambaran tentang transfusi!), air (Aqua Cola!), air susu, bayi, dan aneka benih tanaman. Siapa sangka pelarian ini berbalik arah menjadi ritual pengusiran Iblis?
Kameranya. Kadang-kadang ia menyuruk melibatkan kita ke jantung pertarungan, lalu menarik diri, melenting tinggi, melayang, memutar, berayun, berdansa mengajak kita menonton aksi dari berbagai sisi. Sungguh menawan, dan di beberapa bagian sukses membuatku njondhil dari tempat duduk. Lanskap siang benar-benar bikin megap-megap dahaga. Lanskap malamnya kelam menggigilkan. Dan, langit malam bertabur bintang di bibir padang garam itu... ah, it's a poetry!
Tokohnya. Furiosa, oh, Furiosa. Tatap matanya menggilas segalanya. Max sendiri malah tampak sebagai pendukung, lebih banyak menggeram daripada ngomong. Bagusnya Tom Hardy tidak berada dalam bayang-bayang Mel Gibson. Ada pula para Induk/Istri yang tampak langsing gemulai, namun nyatanya begitu tangguh. Dan, budak-budak perang Immortan Joe itu--dahsyat banget kalau diadu dengan para Uruk-Hai dan Orc! Transformasi paling menarik terjadi pada Nux. Pemerannya Nicholas Hoult, si zombie dalam "Warm Bodies", dan transformasinya serupa. Di "Warm Bodies" transformasinya berlangsung di ujung setelah ia dicium si cantik, di sini setelah gundulnya dielus-elus si molek berambut merah cucu Elvis Presley.
Dengan "Fury Road", George Miller (sebelumnya menggarap trilogi awal Mad Max, Lorenzo's Oil, Babe: Pig in the City, dan dua film Happy Feet) sukses memadukan kebrutalan dan puisi. Sebuah tawaran--dan tantangan--baru dalam genre laga!
Comments
Post a Comment