(Tak Perlu) Membalas Kebaikan Orang Lain



Film Pay It Forward (Mimi Leder, 2000) diangkat dari novel berjudul sama karya Catherine Ryan Hyde. Kisahnya antara lain tentang program sosial rancangan Trevor McKinney, anak kelas 1 SMP di Las Vegas, Nevada, AS.

Dalam mata pelajaran IPS, guru menugasi murid-murid merancang dan menerapkan suatu aktivitas yang berdampak baik bagi dunia ini. Trevor merancang program amal berupa jejaring kebaikan.

Ia menyebutnya pay it forward (meneruskan kebaikan). Artinya, si penerima kebaikan tidak membalas budi pada si pemberi, melainkan meneruskan kebaikan itu pada tiga orang lain. Ketiga orang itu nantinya masing-masing meneruskan kebaikan pada tiga orang lain lagi. Begitu seterusnya. Syaratnya, perbuatan itu mesti sesuatu yang tidak dapat dikerjakan sendiri oleh si penerima.

Trevor pun melakukan kebaikan pada tiga orang. Kebaikan pertamanya ditujukan pada seorang gelandangan bernama Jerry, dengan mempersilakannya tinggal di garasi. Jerry nantinya meneruskan kebaikan ini dengan memperbaiki mobil ibu Trevor dan membujuk seorang perempuan untuk membatalkan rencananya bunuh diri dari sebuah jembatan.

Konsep meneruskan kebaikan sudah lama dikenal di Barat sana. Pay it forward dapat diterapkan baik dalam hal utang budi maupun utang finansial.

Menurut Wikipedia, gagasan ini pertama kali muncul dalam sebuah drama Yunani pada abad IV SM. Tokoh-tokoh yang mempopulerkannya kembali antara lain Benjamin Franklin dan Ralph Waldo Emerson. Kebaikan tidak perlu dibalas, tetapi diteruskan hingga meluas sebagai jejaring kebaikan.

Di sini kita mengenal pepatah “Utang emas boleh dibayar, utang budi dibawa mati.” Saat seseorang meninggal, keluarga biasanya mengumumkan, jika ada tetangga dan kerabat yang memiliki piutang pada almarhum, ia dipersilakan menghubungi ahli waris untuk membereskannya. Namun, bagaimana dengan utang budi?

Utang finansial relatif lebih mudah diperhitungkan, dan sepatutnya dilunasi sesuai dengan kesepakatan. Dapat kepada si pemberi utang atau, mengikuti konsep pay it forward tadi, diteruskan kepada pihak lain. Sekali lagi, sesuai dengan kesepakatan.

Lain ceritanya dengan utang budi. Utang budi tidak berlangsung menurut kesepakatan. Ketika ada orang tertimpa musibah atau memerlukan pertolongan, orang lain mengulurkan tangan secara sukarela dan ikhlas. Utang budi, dengan demikian, bukanlah pinjaman, melainkan pemberian yang tulus.

Pada 2015 saya terserang usus buntu sehingga harus dioperasi dan opname di rumah sakit selama beberapa hari. Keadaan itu memberi saya kesempatan untuk menerima kebaikan orang lain secara berlimpah-limpah. Keluarga. Dokter. Perawat. Awak rumah sakit. Teman-teman yang menengok. Teman-teman yang menghibur dan bergurau. Yang membawa oleh-oleh. Yang menyisipkan amplop sebelum pulang. Yang mengajak selfie. Yang menelepon lalu transfer dana. Yang mendoakan dan mendukung dari jauh. Yang...

Pengalaman ini menawarkan dinamika yang unik sehubungan dengan utang budi. Bagaimana saya dapat membalas kebaikan-kebaikan itu? Semuanya? Satu per satu?

Jawabannya: M-U-S-T-A-H-I-L.

Jadi, apa yang harus saya lakukan?

Saya teringat status pendek seorang teman yang saya baca beberapa hari sebelumnya. Saya tidak ingat persis kata-katanya, kira-kira begini: “Kebaikan itu bergerak secara dua arah. Saat kita menjadi pemberi kebaikan, kita diundang untuk memberi tanpa pamrih, tanpa mengharapkan imbal jasa. Sebaliknya, saat kita menjadi penerima kebaikan, kita diundang untuk tidak gelisah dan terbeban memikirkan bagaimana membalas budi.”

Hah? Kita tidak perlu berterima kasih? Kita tidak usah bersyukur? Kita jadi orang yang tidak tahu membalas budi?

Tidak. Saya rasa bukan begitu maksudnya.

Memberi dan menerima sebagai perbuatan baik bukan dimaksudkan untuk berlangsung secara berbalas-balasan. Tidak ada seorang pun yang mampu membalas suatu kebaikan secara setimpal. Kalau itu terjadi, dunia juga malah akan jadi aneh.

Tidak percaya? Coba saja. Si A memberikan satu juta kepada si B; kemudian pada waktu lain si B membalas memberikan satu juta kepada si A. Setimpal? Secara nilai rupiah, bisa iya bisa tidak—bergantung pada berapa lama jarak pemberian itu dan apakah dolar sedang mengamuk atau tidak. Namun, secara pengorbanan, nilai pemberian A jelas akan berbeda dari pemberian si B. Tidak bisa setimpal benar.

Atau, dalam kasus saya, berarti saya mesti mengharapkan teman-teman saya sakit, agar saya dapat membalas kebaikan mereka? Itu namanya kurang ajar!

Balas-membalas juga menyeret kita ke dalam persaingan. Kalau kita menganggap pemberian kita lebih rendah nilainya, kita jadi minder dan nelangsa. Kalau kita menganggap pemberian kita lebih tinggi nilainya, kita membusungkan dada dan pongah. Kebaikan bergeser jadi kemalangan, bahkan kejahatan.

Jadi, bagaimana? Memberi dan menerima sebagai perbuatan baik itu lebih menyerupai kawan seiring, bergandengan tangan. Seperti gerak tubuh yang saling merespons menjadi tarian elok. Seperti duo syair dan melodi yang bersama-sama merajut simfoni yang indah.

Lihatlah setangkai pohon mawar. Dari matahari, ia menerima cahaya dan panas. Dari langit, ia menerima udara segar dan curah hujan. Dari tanah, ia menerima sari-sari makanan. Dari petani, ia menerima perawatan.

Apakah ia membalas memberikan cahaya dan panas kepada matahari?

Apakah ia membalas memberikan udara segar dan curah hujan kepada langit?
 
Apakah ia membalas memberikan sari-sari makanan kepada tanah?

Apakah ia membalas memberikan perawatan kepada si petani?

Tidak, bukan?

Ia tidak gelisah memikirkan bagaimana mesti membalas kebaikan matahari, langit, tanah, petani. Tentu saja, ia juga memberi pada lingkungannya. Hal-hal yang berbeda. Yang tidak bisa diperbanding-bandingkan. Dalam pelajaran biologi dasar, misalnya, tanaman mendapatkan CO2 dan melepaskan O2 ke udara. Itu zat yang berbeda, bukan?

Jadi, apa yang dilakukan si mawar?

Ia mekar semekar-mekarnya, menjadi mawar yang semawar-mawarnya!

Begitulah dinamika memberi dan menerima sebagai perbuatan baik.

Jadi, ketika kita mendapatkan kesempatan untuk memberikan kebaikan, alih-alih membayangkan tuaian yang akan kita petik dari benih yang kita tabur, rasanya lebih tepat jika kita bertanya, “Apakah pemberian terbaik yang dapat kuberikan kepadanya, yang akan menolongnya semakin mekar sebagai manusia?”

Dan, ketika kita mendapatkan jatah untuk menerima kebaikan, alih-alih memikirkan apa saja yang mesti kita lakukan untuk membalasnya, rasanya lebih tepat jika kita bertanya, “Bagaimana saya dapat mendayagunakan pemberian ini sebaik mungkin sehingga saya semakin mekar sebagai manusia?”

Karena itu, marilah kita saling memberi dan saling menerima, untuk mekar semekar-mekarnya, menjadi manusia yang semanusia-manusianya! ***

Comments

Popular posts from this blog

7 Humor Natal yang Bikin Terpingkal-pingkal

Edisi Koleksi Terbatas 50 Tahun Majalah Bobo Cerpen & Dongeng: Benarkah “Terbaik Sepanjang Masa”?

Setengah Hari di Rumah Atsiri