William Wilberforce: Misi dan Kegigihan Menghapuskan Perbudakan



Ia suka menyeringai ramah. Badannya kecil dan agak timpang, sampai pernah ada yang menyebutnya shrimp. Kata ini secara harfiah berarti udang, namun juga bisa berarti cemoohan bagi orang cebol atau orang yang dianggap tak berarti. Walaupun begitu, sosok tak terduga ini justru menjungkirbalikkan dunia—dengan kegigihannya.

Namanya William Wilberforce. Ia lahir di Hull, Inggris, pada 24 Agustus 1759, dalam keluarga pedagang kaya.  Dengan kecergasan dan kefasihan bawaan, ia menapaki jenjang pendidikan dengan mulus sampai kuliah di St. John College di Cambridge. Namun, ia bukan mahasiswa yang tekun. Ia lebih suka meluangkan waktu bersenang-senang dengan kawan-kawannya dan dikenal sebagai biduan. Salah satu kawannya adalah William Pitt, yang nantinya menjadi perdana menteri termuda dalam sejarah Inggris. Persahabatan mereka ini terbuhul sepanjang masa hidup mereka.

Menemukan Panggilan Hidup
Ketika masih kuliah, karena tidak berminat untuk melanjutkan bisnia keluarga, ia mencalonkan diri sebagai anggota parlemen. Pada September 1780, dalam usia dua puluh satu tahun, ia terpilih mewakili Hull. Masalahnya, ia tak memiliki sasaran yang jelas. Ia masih asyik bersenang-senang. “Tahun pertama saya di Parlemen,” kenangnya kemudian, “saya tidak melakukan apa-apa—tidak melakukan sesuatu yang berarti.”

Kemudian ia mulai membaca buku Philip Doddridge, The Rise and Progress of Religion in the Soul. Tersadarkan akan kehampaan harta di satu sisi dan kebenaran ajaran Kristen di sisi lain, ia pun mulai merenungkan makna hidupnya secara mendalam.

Ia melewati pergumulan batin yang berat. Secara lahiriah ia tampil penuh keyakinan, namun di dalam batin ia sengsara. “Saya yakin tidak ada manusia lain yang menanggung penderitaan sehebat yang saya alami selama beberapa bulan ini,” tulisnya kemudian.

Kemuramannya terangkat pada Paskah 1786. “Di tengah paduan suara seluruh alam pagi itu yang tampaknya meledak dengan nyanyian pujian dan ucapan syukur,” ia mengalami kelahiran kembali.

Ia memulai kehidupan barunya di dalam Kristus dengan menjauhi alkohol dan pergaulan yang diwarnai kepentingan politik. Suatu kesadaran baru akan panggilan hidup bangkit di dalam dirinya. “Kehidupan saya sebuah kehidupan publik,” teranya dalam buku harian. “Pekerjaan saya di dunia, dan saya harus bergaul dengan kumpulan orang atau berhenti dari pangkalan yang telah Tuhan tetapkan bagi saya.”

Menentang Perbudakan
Pelan-pelan ia menyadari bahwa “pekerjaan”-nya berkaitan dengan perbudakan. Oleh pengaruh Thomas Clarkson, ia mulai tergugah oleh perkara ini.

Saat itu perdagangan budak mencakup ribuan orang Afrika, ratusan kapal, dan jutaan poundsterling. Bisa dikatakan, perbudakan adalah tulang punggung perekonomian Inggris dan sebagian besar Eropa. Tidak banyak orang tahu tentang “Jalur Tengah” melintasi Atlantik, yang diperkirakan memakan korban satu dari setiap empat orang Afrika.

Mengetahui kondisi ini, Wilberforce sangat tertekan. Ia mengatakan, “Kejahatan perdagangan budak ini tampak begitu dahsyat, mengerikan, dan parah sehingga saya bertekad untuk menghapuskannya. Bagaimanapun konsekuensinya, sejak saat ini saya membulatkan hati untuk tidak akan berhenti berjuang sebelum berhasil menghapuskan perdagangan budak.”

Semula secara naif ia mengira upayanya akan segera berhasil. Nyatanya, itu bukan usaha yang gampang. Pada Mei 1788, dengan bantuan Thomas Clarkson, ia mengajukan mosi 12 poin ke parlemen untuk menentang perdagangan budak. Mosi itu gagal, dan muncul perlawanan sengit. Pemilik perkebunan, pengusaha, pemilik kapal, kaum tradisionalis, dan bahkan Raja Inggris pun menentangnya. Kaum Abolisionis, para penentang perbudakan, dianggap sebagai golongan radikal yang berbahaya.

Wilberforce menolak untuk angkat tangan. Ia memajukan rancangan undang-undang lagi pada 1791, yang juga ditampik.

Kegagalan lain menyusul pada 1792.

Lalu pada 1797, 1798, dan 1799.

Juga pada 1804 dan 1805.

Selama Wilberforce berjuang di Parlemen, Thomas Clarkson tekun berkeliling dan menerbitkan tulisan anti-perbudakan. Upaya kedua orang ini secara bertahap mencelikkan mata publik, sampai pada akhirnya pada 1806, parlemen menghapuskan perdagangan budak di seluruh Kerajaan Inggris. Wilberforce menangis dengan sukacita.

Reformasi Moral
Selain masalah perbudakan, ia juga prihatin akan kondisi moral bangsanya secara keseluruhan. Di dalam kedua perkara itulah—penghapusan perbudakan dan reformasi moral—ia menemukan panggilan hidupnya.

Pada awal 1787, ia mendirikan perkumpulan yang akan berjuang “untuk mendorong kesalehan dan kebajikan; dan untuk mencegah kejahatan, keduniawian, dan imoralitas.” Perkumpulan itu kemudian dikenal sebagai The Society for the Suppression of Vice.

Ia pernah dijuluki sebagai “perdana menteri kabinet para dermawan”. Suatu saat, ia aktif mendukung 69 badan sosial. Ia memberikan seperempat penghasilannya bagi kaum miskin. Ia membela para pembersih cerobong asap, ibu-ibu yang menjadi orang tua tunggal, sekolah Minggu, anak-anak yatim-piatu, dan anak-anak yang terlibat kenakalan. Ia juga mendukung berdirinya sejumlah lembaga paragereja, seperti Society for Bettering the Cause of the Poor, Church Missionary Society, British and Foreign Bible Society, dan Antislavery Society.

Pada 1797 ia menetap di Clapham, menjadi anggota Persekutuan Clapham, sekelompok orang kristiani saleh yang berpengaruh dalam pemerintahan dan bisnis. Di antara mereka yang diam di Clapham, ada seorang penasihat rohani dan sesama koleganya di Parlemen, seperti John Newton, penulis lagu “Amazing Grace,” George Whitefield, John Wesley, Henry Thornton, dan keluarga mereka masing-masing. Komunitas ini diwarnai oleh sukacita yang melimpah-limpah dan para pemimpinnya menanamkan kesalehan melalui keteladanan.

Perjuangan Wilberforce untuk reformasi moral dan pembaruan budaya ini membuahkan hasil yang membesarkan hati. Saat itu, kalangan elit istana dan pemerintahan membiarkan berlangsungnya penyelewengan dan pelanggaran sosial. Dengan serangkaian upaya kreatif, Wilberforce berhasil mendorong penegakan kebajikan, karakter, moralitas, dan keadilan. Sementara itu, perjuangannya menentang perbudakan rupanya belum mencapai garis akhir. Ia masih ingin melihat semua budak dibebaskan. Hal ini menuntut kegigihan yang lain lagi. Akhirnya, pada musim panas 1833, Parlemen mengeluarkan Undang-undang Emansipasi. Tiga hari setelah undang-undang tersebut  disahkan, ia meninggal dunia.

Digerakkan oleh misi dari Allah, dibarengi penerapan iman, kegigihan, dan keterlibatan dalam politik, ia dan sekutunya membebaskan Inggris—adidaya pada masanya, dari kejahatan terbesar pada saat itu.

Kesuksesan Wilberforce sebagian memang ditunjang oleh talentanya yang hebat: kemampuannya berpidato secara cerdas, cergas, dan menggugah semangat. Ia bisa saja menjadi perdana menteri seandainya ia “lebih berpihak ke partai daripada urusan kemanusiaan”, kata seorang sejarawan.

Namun, faktor vital lain bagi keberhasilan Wilberforce adalah dukungan komunitas para sahabat di Clapham. Kalau Wilberforce adalah anak panah yang menembus jantung perdagangan budak, Persekutuan Clapham adalah busur yang melentingkannya. Penulis biografinya, John Pollock, menulis, “Wilberforce membuktikan bahwa satu orang mampu mengubah zamannya; tetapi ia tidak sanggup melakukannya seorang diri.”

Comments

Popular posts from this blog

7 Humor Natal yang Bikin Terpingkal-pingkal

Edisi Koleksi Terbatas 50 Tahun Majalah Bobo Cerpen & Dongeng: Benarkah “Terbaik Sepanjang Masa”?

Setengah Hari di Rumah Atsiri