Teenlit Tidak Harus Tentang Cinta



Hardono

Beberapa hari yang lalu saya memesan 2 buah Novel Warrior: Sepatu Untuk Sahabat langsung ke pengarangnya, mas Arie Saptadji, sambil berpesan agar beliau berkenan menandatangani novel tersebut. Satu novel untuk istri tercinta dan satu lagi sebagai hadiah ulang tahun keponakan tersayang, Lintang Prima. Saya memilih novel ini sebagai hadiah ulang tahun Lintang karena temanya yang berbeda dengan kebanyakan teenlit lainnya. Alih-alih membahas tentang cinta remaja, teenlit yang satu ini justru membahas mengenai persahabatan dan perjuangan dalam menghadapi kehidupan.

Untuk mengurangi rasa penasaran, novel ini menceritakan kehidupan seorang pelajar bernama Sri yang mendapatkan berkah terpilih mewakili sekolahnya untuk mengikuti lomba baris-berbaris di tingkat kabupaten Temanggung, Jawa Tengah. Alih-alih bahagia, Sri justru merasa sedih dengan ‘berkah’ ini. Sepatu Sri sudah rusak, ibunya hanyalah seorang janda penjual lopis. Dua fakta itulah yang membuat Sri sadar bahwa ia akan sulit membeli sepatu Warrior dalam waktu 2 bulan lagi. Sri pun kalut dan tidak bersemangat setiap kali ikut latihan baris berbaris.

Untung tak dapat diduga, Sri mendapatkan pekerjaan tidak terduga dari orang tua Lisa, sahabat karibnya. Ia tabung gaji selama dia bekerja dan menyakini bahwa sebelum dua bulan ia sudah bisa mendapatkan sepatu Warior. Namun malang juga tidak bisa dia tolak, ketika uang sudah terkumpul banyak, Jono, tetangganya yang sudah ia anggap sebagai adiknya sendiri harus menjalani operasi usus buntu di rumah sakit. Sri menghadapi dilema, membantu Jono dan melepas impiannya ikut pasukan baris berbaris atau meraih impiannya dan membiarkan Jono menghadapi sendiri penyakitnya.

Membaca novel ini memang sungguh berbeda dengan membaca novel remaja pada umumnya. Ada beberapa ciri khas yang tampak dari novel pertama karya Arie Saptadji ini.

Ciri khas pertama Anda tidak akan menjumpai adegan yang berkaitan dengan cinta dari tokoh utama atau tokoh pembantu lainnya. Satu-satunya adegan berbau cinta (lebih tepatnya masih naksir) hanya diperankan oleh Titin, yang diposisikan sebagai tokoh antogonis yang naksir Bowo, kakak Lisa. Itupun hanya sebagai pelengkap cerita yang bila dihilangkanpun saya rasa tidak akan mempengaruhi isi novel secara keseluruhan.

Ciri khas kedua ialah pemilihan lokasi di Temanggung, sebuah kabupaten di Jawa Tengah. Imbasnya beberapa kata atau istilah dalam novel ini menggunakan bahasa Jawa. Sebagai orang keturunan Jawa asli hal ini tentu saja bukanlah masalah, saya justru menikmatinya. Namun bagi yang tidak paham bahasa Jawa, silakan buka kamus di bagian belakang novel ini. Sambil membaca novel sambil belajar istilah Jawa.

Ciri khas ketiga, dan inilah yang sangat saya sukai ialah peristiwa ini terjadi di masa lalu yaitu pada tahun 1980. Masa dimana konflik remaja hanya terbatas tutur kata dan tidak menjurus ke arah fisik seperti tayangan sinetron saat ini. Saya kembali terkenang nehi-nehi, sepatu warrior yang wajib dipakai saat saya SMP, dan beberapa istilah jawa yang sekarang sepertinya sudah hilang.

Di balik menariknya novel ini, pelajaran sejarah adalah bagian yang terasa ingin saya lompati. Ya, dalam novel ini Anda juga akan menemukan beberapa pelajaran yang berkaitan dengan sejarah. Adam Malik, Judith Resnik dan Discovery-nya, Karl May lewat Old Shatterhand-nya, serial Little House on the Praire, cerpen wayang mbeling berjudul Bima Melacak Tirtapawitra, mendaratnya VOC di Indonesia, Reformasi Protestan, merupakan pelajaran yang ikut nebeng di novel ini. Memang pada akhirnya tokoh atau cerita tersebut (walau sekelumit) tetap berkaitan dengan pribadi Sri dalam menghadapi masalah. Namun, pengambaran mereka terlalu panjang dan bisa membuat bosan para pembaca.

Terlepas para panjangnya pemaparan para tokoh sejarah dan artikel lainnya, Like This layak di sematkan untuk Arie Saptadji. Di tengah maraknya teenlit Indonesia yang full cinta monyet, aksi balas dendam, lu-gue, dengan latar gaya hidup serba hedonis nan metropolis, novel ini berani tampil beda.

Di tengah himpitan kleting abang, kleting hijau, kleting biru, novel ini bagaikan kleting kuning yang sepintas kelihatan jelek namun sebenarnya memiliki kecantikan dan budi pekerti yang luar biasa. Novel yang seperti inilah yang diperlukan oleh para remaja di negara ini. Novel yang berbicara mengenai makna perjuangan hidup dan persahabatan tanpa memandang perbedaan status.

* Ulasan ini berdasarkan Warrior: Sepatu untuk Sahabat (GPU, 2007). Novel ini diterbitkan ulang oleh Pustaka Patria (2020) bersama dengan dua novel lain dalam Trilogi Temanggung, yaitu Dalam Rinai Hujan dan Temanggung, Yogyakarta.

Comments

Popular posts from this blog

7 Humor Natal yang Bikin Terpingkal-pingkal

Edisi Koleksi Terbatas 50 Tahun Majalah Bobo Cerpen & Dongeng: Benarkah “Terbaik Sepanjang Masa”?

Setengah Hari di Rumah Atsiri