Catatan Remaja 80-an



Dari bumi Ngadirejo ini, ke langit mana engkau akan mengangkasa meraih bintangmu, Sri? (hal/ 57)

Ke langit yang bersahaja tanpa bintang-bintang. Asalkan tidak mendung dan hujan, cukuplah. Begitulah cita-cita sederhana seorang remaja dari desa.

Membaca buku ini saya jadi teringat Children of Heaven, film tentang anak terbaik produksi Iran yang diputar dalam Jiffest beberapa tahun lalu. Kisahnya mirip, anak yang mendaftar untuk ikut lomba lari karena hadiahnya adalah sepatu baru, yang akan dia hadiahnya kepada adiknya.

Ceritanya sederhana. Dibuka dengan kisah Sri Suryani, siswi kelas 2 SMP Negeri Ngadirejo, yang khawatir ketika ia terpilih menjadi salah satu anggota lomba gerak jalan sekabupaten Temanggung. Apa masalahnya? Ya itu tadi. Sepatu. Sepatunya bolong. Kalau dipakai latihan, tampilan sepatunya pasti lebih buruk di hari H. Ia perlu sepatu baru. Sepatu Warrior, yang tahun 80-an adalah sepatu yang mungkin paling popular di seluruh sekolah di nusantara ini. Sepatu hitam dengan bahan kain, berhak nyaris rata, dengan tali putih.

Untuk membeli yang baru, rasanya berat. Tentu saja. Sri anak yatim. Ibunya seorang penjual ketan, lopis, tiwul, gerontol (penganan dari jagung yang direbus), dan sesekali menerima upah cuci setrika tetangga. Mereka tinggal di rumah yang hanya sekamar luasnya, dengan lantai tanah yang sudah mengeras. Tapi Sri tidak putus asa. Ia bertekad untuk membeli sepatu dari hasil keringatnya sendiri. Pintu demi pintu terbuka. Lika-liku hingga akhirnya ia mendapatkan sepatu itu, sungguh klasik dan lembut, mengharukan. Seperti yang dikatakan Paulo Coelho, ketika seseorang bertekad untuk meraih sesuatu, alam semesta akan dengan serta-merta berkompromi untuk membantu.

Dunia yang damai

Remaja menempati sisi dunia yang aktif, dipenuhi kegembiraan dan kenakalan khas yang dimaklumi orang dewasa. Di tangan seorang Arie Saptaji, remaja ada di dunia yang damai dan menyenangkan. Yang baik akan diberi penghargaan, yang nakal akan dihukum. Arie rajin berpesan moral. Ia melukiskan persahabatan indah Sri dan Lisa yang berjalan mulus, nyaris tanpa konflik. Kesabaran Sri yang teguh dalam menanti apa yang diperlukan, melukiskan kebersahajaan khas orang kecil yang sadar diri akan keterbatasannya.

Ada tokoh antagonis, yaitu Titin. Sebenarnya bila tokoh ini dibangun sebaik Sri, mungkin akan lebih mempertegas hitam putih cerita. Namun sayang, ia dimunculkan sekedarnya. Tiba-tiba menjadi pecundang ketika menolak Lisa yang meminta untuk meminjamkan sepatu Warriornya untuk Sri. Titin pun ‘dihukum’.

Arie memilih bahasa yang sopan dan anggun untuk ukuran remaja sekarang, dibandingkan majalah remaja Gadis, Aneka, Hai, misalnya. Memang jadi terkesan membosankan. Namun kelebihan Arie, ia menghadirkan istilah dan suasana Jawa yang kental, sehingga memberi kedekatan tertentu pada masyarakat tertentu. Bukan itu saja. Dengan cara menggiurkan pengarang asal Yogya ini mencatat kuliner khas sego gono atau empis-empis--hidangan serbalombok yang dicampur tempe bongkrek, tahu, ikan asin.

Catatan remaja 80-an

Secara emosi, saya curiga buku ini terlalu ‘canggih’ untuk remaja, secara ia termasuk pada ragam teenlit. Kisah ulang peluncuran pesawat Discovery ke angkasa tahun 1985, apakah menarik bagi remaja sekarang? Atau tokoh Adam Malik dengan ‘Semua bisa diatur’-nya yang popular waktu itu atau pelari Jesse Owen, sprinter Purnomo, Kartini, Indira Gandhi?

Belum lagi pilihan kata yang tergolong ‘tinggi’ bagi remaja seperti cergas, bernas, memunggah, kampium, menukilkan, zaman edan, berdompol-dompol, sumarah, legawa, cangkriman, pitik walik, membuhulkan, jembar, didapuk, mencatu.

Saya berpikir orang dewasa yang masa remajanya sekitar tahun 80-an, mungkin akan tersenyum geli saat diingatkan lagu Untuk Sebuah Nama yang dilantunkan (almarhum) Pance Pondaag atau iklan ‘Epilepsi, bukan penyakit turunan dan tidak menular’, lalu, ajakah ‘Kita main bola lagi yuk, Di!’. Atau juga jargon mengolahragakan masyarakat dan memasyarakatkan olahraga atau istilah GN-OTA.

Bagi remaja masa kini, mungkin hatinya takkan tergetar saat mengetahui harga sepatu Warrior yang diimpikan Sri ‘hanya’ berharga 8 ribu rupiah, yang bahkan tidak cukup untuk membeli satu pake nasi di Mc Donald’s. Bagaimana pun, buku ini tetap asyik untuk dibaca. Seperti pendapat Luna Torashyngu, salah satu endorser buku ini, ini adalah karya klasik untuk remaja.

ita siregar, jan 2008

* Ulasan ini berdasarkan Warrior: Sepatu untuk Sahabat (GPU, 2007). Novel ini diterbitkan ulang oleh Pustaka Patria (2020) bersama dengan dua novel lain dalam Trilogi Temanggung, yaitu Dalam Rinai Hujan dan Temanggung, Yogyakarta.

Comments

Popular posts from this blog

7 Humor Natal yang Bikin Terpingkal-pingkal

Edisi Koleksi Terbatas 50 Tahun Majalah Bobo Cerpen & Dongeng: Benarkah “Terbaik Sepanjang Masa”?

Setengah Hari di Rumah Atsiri