Mantan Manten (2019): Perjalanan Menuju Ikhlas

Atiqah Hasiholan dan Arifin Putra dalam film Mantan Manten.


Posternya mengelabui. Mengingatkan pada gaya visual poster Orang Kaya Baru. Mengisyaratkan sajian kisah romantis atau komedi Jakartaan yang kerlap-kerlip dan menye-menye. Siapa sangka Mantan Manten menawarkan kisah cinta yang matang, dengan bumbu komedi yang pas, dan berkelok tak terduga: sang protagonis menemukan solusi melalui dunia dukun manten gragrak Solo! Ibaratnya, novel bersampul ngepop, ternyata isinya sastrawi.

Film ini berkisah tentang Yasnina (Atiqah Hasiholan), manajer investasi ternama, yang ditelikung oleh Iskandar (Tyo Pakusadewo) dalam sebuah kasus di perusahaannya. Pengkhianatan ini dilakukan secara terbuka dalam rapat yang dihadiri para lelaki, hanya Nina seorang yang perempuan. Mata para lelaki itu tidak memperlihatkan belas kasihan, malah mengharapkannya segera enyah. Mereka risih ada perempuan yang kuat di tengah-tengah mereka. Adegan ini mirip dengan adegan Clarice Starling dibelejeti oleh mata sejumlah laki-laki dalam lift pada awal The Silence of the Lambs, sebuah film feminis yang kuat.

Selain hancur kariernya dan bangkrut, rencana pernikahannya dengan Surya (Arifin Putra), yang tidak lain adalah anak Iskandar, berada di ujung tanduk. Tinggal satu harapannya: sebuah vila di Tawangmangu yang tidak disita karena belum dibalik nama. Namun, untuk mengambil kembali vila tersebut, Nina harus menjadi asisten seorang dukun manten bernama Marjanti (Tutie Kirana).

Perjalanan Nina menuntut balas pada Iskandar pun dimulai. Uniknya, perjalanan ini mengikuti format klasik tokoh sakti dan cantriknya. Format ini kerap digunakan dalam berbagai film, mulai dari Star Wars, Kung Fu Panda, sampai Wiro Sableng. Ilmu yang diturunkan biasanya mencakup kedigdayaan, kecakapan bertarung, dan kebijakan hidup, yang nantinya digunakan untuk menaklukkan musuh. Mantan Manten menawarkan ilmu paes (merias pengantin) untuk menjawab konflik bisnis dan konflik percintaan.

Pertemuan awal Nina dengan Marjanti berlangsung di tengah hiruk-pikuk persiapan pernikahan, dalam rangkaian adegan yang secara efektif memperlihatkan peran penting seorang dukun manten. Dalam suasana yang kocak tetapi tetap sakral, Nina dibuat takjub menyaksikan kesaktian Marjanti.

Namun, bukan ketakjuban itu yang membuatnya bersedia menjadi asisten sang dukun. Nina terdesak oleh keadaan. Dia tak punya pilihan lain kecuali menerima persyaratan Marjanti itu.

Sudah bisa diduga, Nina pada awalnya menjalani latihan secara terpaksa dan malas-malasan. Lalu, terjadi benturan dan kesalahpahaman. Lalu, mereka bisa duduk dan bertukar pikiran dengan tenang sehingga penyerapan ilmu berlangsung dengan baik. Nina berkesempatan untuk menjadi juru selamat dalam sebuah krisis menjelang pernikahan salah satu klien mereka. Lalu, muncul pengkhianatan dan kekecewaan, sampai pada akhirnya si cantrik menguasai dan bahkan dalam taraf tertentu mengungguli ilmu gurunya.

Sepanjang tahap percantrikan itu, dunia nyata dan dunia gaib berkelindan secara lembut. Suami Marjanti yang telah meninggal digambarkan masih hadir, tentu saja hanya terlihat dan diajak berbincang-bincang oleh Marjanti sendiri. Latihan di lapangan dan perjumpaan spiritual jalin-menjalin saling meneguhkan. Adegan bebungaan gugur dari langit, yang biasanya muncul dalam pewayangan, di sini tersaji dengan indah. Ada pula daun sirih yang jatuh, disusul tanaman sirih yang tumbuh merambat di tembok dan membentuk labirin. Wingit.

Ada detail kecil yang meleset: Di Tawangmangu tidak ada becak. “Lha apa pengin kempole mbledhos (betisnya pecah meletus)?” kata teman saya yang bekerja di daerah pegunungan itu. Untunglah kekeliruan itu tidak merusak bangunan cerita. Saya sendiri baru tersadar lama setelah keluar dari bioskop.

Adegan-adegan bagusnya lebih berlimpah dan menancap kuat dalam ingatan.

Perhatikan adegan kecil yang menawan itu: Pagi-pagi Marjanti duduk di depan vila, menyeruput teh dari gelas yang ndeso, sembari memandangi ampak-ampak di langit Tawangmangu yang luas membentang. Adegan ini mewakili kelapangan sikap hidup Marjanti. Dialah yang menjadi sumber optimisme bahwa, jika dipandang dari perspektif yang tepat, setiap persoalan tentu ada jalan keluarnya. Bisa jadi jalan keluar itu wujudnya berbeda jauh dari perkiraan kita.

Film ini menampilkan adegan kembar proses mengenakan beskap pengantin yang disuwuk dengan asap rokok. Adegan pertama, di awal tadi, bersuasana kocak tetapi sakral. Adegan kedua lain lagi: mistis dan sensual. Atiqah dan Arifin tampak begitu sexy dalam gelora renjana yang terpendam, sekaligus dalam penerimaan yang tahu diri.

Dan, klimaksnya bakal membikin dada sesak megap-megap mau meledak oleh campur aduk rasa bahagia, takjub, dan hormat sehormat-hormatnya atas keputusan yang dipilih oleh sang protagonis--sebuah “pembalasan dendam” level dewa: menumpukkan bara di atas kepala lawan!

Saya suka sekali pilihan untuk tidak menggunakan gendhing dalam mengiringi adegan pernikahan adat Jawa. Seakan ingin bermain-main dengan isyarat: Tradisional tapi modern, modern tapi tradisional. Bahwa keduanya tak mesti melulu berantem, tetapi bisa bertautan, saling melengkapi, memberi ruang sesuai dengan jatah masing-masing.

Sosok Nina meneruskan dinamika gambaran perempuan dalam lanskap sinema kita. Perempuan-perempuan dalam Asrama Dara (Usmar Ismail, 1958) meneguhkan kesetaraan mereka dengan laki-laki, “Zaman sekarang, perempuan di mana-mana sudah sama dengan laki-laki. Jadi stewardess, polisi, malahan ada yang jadi lurah, jaksa, hakim.” Namun, Palupi dalam Apa yang Kaucari Palupi? (Asrul Sani, 1969), yang melepaskan perannya sebagai istri dan mencari kebahagiaan pribadi mendapatkan hukuman sosial-religius dan terkurung dalam pesta bak neraka. Agnes, dalam Gadis Penakluk (Edward Pesta Sirait, 1980), tampil sesuai dengan judul film sebagai gadis SMA yang mendamba dan secara terbuka berupaya merebut hati seorang gurunya. Nina menampilkan aspek ketangguhan yang lain lagi.

Kata kunci yang berulang-ulang muncul dalam film ini adalah “ikhlas”. Meminjam definisi Franz Magnis-Suseno dalam Etika Jawa, “Iklas berarti ‘bersedia’. Sikap itu memuat kesediaan untuk melepaskan individualitas sendiri dan mencocokkan diri ke dalam keselarasan agung semesta sebagaimana sudah ditentukan… Iklas… harus dipahami sebagai keutamaan positif, bukan sebagai menyerah dalam arti jelek, melainkan sebagai tanda penyerahan otonom, sebagai kemampuan untuk melepaskan dengan penuh pengertian daripada membiarkan saja sesuatu direbut secara pasif.”

Farishad Latjuba sukses memotret keikhlasan itu dengan penyutradaraan yang mumpuni. Mantan Manten menjadi kisah Sri Sumarah era milenial yang digarap secara elok, kuat, dan mengesankan. Keikhlasan Nina bukan sikap fatalistis, bukan ikhlas karena budaya membentuk dan menuntutnya untuk bersikap demikian, melainkan ikhlas karena memang dia memilih respons itu. Sebuah pilihan yang tumbuh dari kesadaran dan pertimbangan pribadi, tetapi juga dibarengi dengan peneguhan melalui sejumlah perjumpaan spiritual.

Sikap ikhlas melapangkan hati Nina dalam menyelesaikan konflik percintaannya. Bagaimana dengan konflik bisnisnya? Sejauh ini setiap upayanya membentur tembok. Namun, Mantan Manten menawarkan isyarat halus: Bahwa Nina yang semula percaya pada uang kini mendaku bahwa dirinya percaya pada kehidupan. ***

 

Mantan Manten (2019). Sutradara: Farishad Latjuba. Penulis: Farishad Latjuba, Jenny Jusuf. Pemeran: Atiqah Hasiholan, Arifin Putra, Tutie Kirana, Tio Pakusadewo, Marthino Lio, Dodit Mulyanto. Durasi: 102 menit.

Comments

Popular posts from this blog

7 Humor Natal yang Bikin Terpingkal-pingkal

Edisi Koleksi Terbatas 50 Tahun Majalah Bobo Cerpen & Dongeng: Benarkah “Terbaik Sepanjang Masa”?

Setengah Hari di Rumah Atsiri